BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Masalah
Saat ini masih banyak perusahaan yang
mengukur kinerjanya hanya berdasarkan pada tolak ukur keuangannya saja. Padahal dalam menghadapi lingkungan bisnis
yang semakin kompleks seperti saat ini, pengukuran kinerja yang hanya berdasar
pada tolak ukur keuangan sudah tidak lagi memadai karena mempunyai banyak
kelemahan, antara lain:
1. Pemakaian kinerja keuangan sebagai
satu-satunya penentu kinerja perusahaan bisa mendorong manajer untuk mengambil
tindakan jangka pendek dengan mengorbankan kepentingan jangka panjang. Misalnya, untuk menaikkan profit atau ROI,
seorang manajer bisa saja mengurangi komitmennya terhadap pengembangan atau
pelatihan bagi karyawan, termasuk investasi-investasi dalam sistem dan
teknologi untuk kepentingan perusahaan masa depan. Dalam jangka pendek kinerja keuangan meningkat, namun
dalam jangka panjang akan menurun.
2. Diabaikannya
aspek pengukuran non-finansial dan intangible asset pada umumnya, baik dari
sumber internal maupun eksternal akan memberikan suatu pandangan yang keliru
bagi manajer mengenai perusahaan di masa
sekarang terlebih lagi di masa datang.
3. Kinerja
keuangan hanya bertumpu pada kinerja masa lalu dan kurang mampu sepenuhnya
untuk menuntun perusahaan kearah tujuan perusahaan.
Agar
sukses setiap perusahaan, harus menginvestasikan dan mengelola asset
intelektual mereka. Hal ini disebabkan karena asset
intelektual memampukan perusahaan untuk:
-
Membangun
hubungan baik dengan konsumen yang akan memelihara kesetiaan dari konsumen yang
ada dan memungkinkan segmen konsumen dan area pasar yang baru dapat dilayani
dengan efektif dan efisien.
-
Memperkenalkan produk dan jasa inovatif yang diinginkan
oleh target segmen konsumen.
-
Memproduksi produk dan jasa yang berkualitas tinggi pada
tingkat biaya yang rendah dan dengan waktu tunggu yang singkat.
-
Mengerahkan kemampuan dan motivasi karyawan untuk
melakukan peningkatan secara terus menerus dalam kapabilitas proses, kualitas,
dan waktu respon.
Dalam hal
ini, kesuksesan perusahaan tidak dapat dimotivasi atau diukur dalam jangka
pendek dengan model akuntansi keuangan tradisional saja. Balanced scorecard merupakan kerangka kerja
baru untuk mengintegrasikan ukuran yang diperoleh dari strategi. Dengan tetap mempertahankan ukuran keuangan
dari performance sebelumnya, balanced scorecard memperkenalkan driver tambahan
yang meliputi konsumen, proses bisnis internal, dan perspektif pembelajaran dan
pertumbuhan.
Balanced
scorecard lebih dari sekedar sistem pengukuran.
Perusahaan dapat menggunakan balanced scorecard sebagai dasar untuk
mengatur kerangka kerja untuk proses manajemen mereka. Perusahaan dapat membangun balanced scorecard
mula-mula dengan tujuan yang terbatas, misalnya untuk mendapatkan klarifikasi, konsensus,
dan fokus terhadap strategi mereka, lalu mengkomunikasikan strategi tersebut
kepada seluruh anggota perusahaan.
Dengan
kata lain, balanced scorecard mendidik manajemen dan organisasi pada umumnya
untuk memandang perusahaan dari kurang lebih empat perspektif: keuangan,
pelanggan, pembelajaran dan pertumbuhan, serta bisnis internal, yang
menghubungkan pengendalian operasional jangka pendek ke dalam visi dan strategi
bisnis jangka panjang.
Kekuatan
sebenarnya balanced scorecard terjadi saat mentransform sistem pengukuran
menjadi sistem manajemen. Dengan kata lain balanced scorecard
dapat digunakan untuk:
1.
Mengklasifikasi dan mendapatkan konsensus (persetujuan)
mengenai strategi.
2. Mengkomunikasikan
strategi pada anggota perusahaan.
3. Menjelaskan
tujuan tiap departemen dan individu terhadap strategi.
4. Menghubungkan
tujuan strategis dengan target jangka panjang dan anggaran tahunan.
5. Mengidentifikasi
dan menjelaskan inisiatif strategis.
6. Melakukan
peninjauan strategis secara berkala dan sistematis.
7. Memperoleh
umpan balik untuk mempelajari dan mengembangkan strategi.
Seperti yang telah disebutkan diatas,
balanced scorecard mengklasifikasikan pengukuran kinerja ke dalam 4 perspektif,
yaitu keuangan, pelanggan, proses bisnis internal, dan pembelajaran dan
pertumbuhan. Keempat perspektif ini
menawarkan suatu keseimbangan antara tujuan jangka pendek dan tujuan jangka
panjang, yaitu hasil yang diinginkan, pemicu kinerja, dan tolak ukur kinerja.
Berdasarkan kelebihan yang dimiliki
balanced scorecard, maka penulis tertarik untuk mengukur kinerja suatu
perusahaan dengan menggunakan instrumen-instrumen yang terdapat di dalam
balanced scorecard ke dalam skripsi yang
berjudul “Implementasi Balanced Scorecard sebagai alat pengukur kinerja pada PT
Bestindo Intiselaras”.
1.2 Rumusan Masalah
Saat ini masih banyak perusahaan yang
mengukur kinerjanya secara tradisional, yaitu hanya dengan menitikberatkan pada
aspek keuangannya saja. Perusahaan
cenderung berorientasi pada keuntungan jangka pendek dan mengabaikan kelangsungan hidup perusahaan
dalam jangka panjang.
Oleh
karena itu penulis mencoba menerapkan beberapa pengukuran sederhana dengan
menggunakan pendekatan balanced scorecard untuk menganalisis kinerja
perusahaan. Adapun permasalahan yang
dibahas dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana
pengukuran kinerja yang selama ini diterapkan di PT Bestindo Intiselaras?
2. Bagaimana
kinerja perusahaan jika diukur dengan sistem pengukuran Balanced Scorecard?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan
yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui kinerja PT Bestindo Intiselaras apabila
diukur dengan perspektif Balanced Scorecard.
1.4 Manfaat
Penelitian
Manfaat dari
penelitian ini adalah:
1. Bagi
perusahaan, untuk mendapatkan masukan tentang pengukuran kinerja dengan
menggunakan Balance Scorecard serta memberikan manfaat dalam menetapkan
pengukuran kinerja yang lebih komprehensif.
2. Bagi penulis,
untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis dalam menerapkan beberapa teori
yang diperoleh dalam perkuliahan.
3. Bagi pihak lain
yang berkepentingan, untuk memberikan informasi yang berkenaan dengan
pengukuran kinerja perusahaan dengan menggunakan Balanced Scorecard.
I.5 Sistematika Penulisan
Skripsi ini
dibagi menjadi 5 bab dengan sistematika sebagai berikut:
Bab I. Pendahuluan
Bab ini menjelaskan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan
penelitan, dan manfaat penelitian.
Penulis mencoba untuk memberikan gambaran mengenai kebutuhan pengukuran
kinerja perusahaan dengan menggunakan perspektif-perspektif yang ada dalam
Balance Scorecard.
Bab II. Tinjauan Literatur
Dalam bab ini penulis menjelaskan mengenai pengertian, tujuan, manfaat, dan
karakteristik sistem pengukuran kinerja, serta mengenai balanced scorecard dan
perspektif-perspektif yang ada didalamnya sebagai suatu sistem pengukuran
kinerja.
Bab III. Gambaran Umum Objek
Pembahasan
Pada bab ini penulis menjelaskan gambaran umum, struktur organisasi,
dan ruang lingkup kegiatan PT Bestindo
Intiselaras sebagai obyek penelitian.
Bab IV. Analisis dan Pembahasan
Pada bab ini, penulis mencoba untuk melakukan analisis data, baik data finansial
maupun data nonfinansial, serta pembahasan terhadap kinerja perusahaan dengan
menggunakan keempat perspektif dalam Balanced Scorecard, yaitu perspektif
keuangan, pelanggan, proses bisnis internal, serta pertumbuhan dan pembelajaran.
Bab V. Simpulan dan Saran
Bab ini berisi kesimpulan
atas analisis data yang dilakukan di PT Bestindo Intiselaras, selain itu
penulis juga memberikan saran mengenai kemungkinan pengukuran kinerja Balanced
Scorecard sebagai alternatif untuk mengukur kinerja perusahaan secara lebih
akurat.
BAB II
TINJAUAN
LITERATUR
2.1 Sistem
Pengukuran Kinerja
2.1.1 Pengertian Pengukuran Kinerja
Anderson dan Clancy (1991)
mendefinisikan pengukuran kinerja sebagai:
“feedback from the accountant to management that provides information
about how well the action represent the plans; it also identifies where
managers may need to make corrections or adjustments in future planning and
controlling activities.”
Sementara
itu, Anthony, Banker, Kaplan, dan Young (1997) mendefinisikan pengukuran
kinerja sebagai: “the activity of
measuring the performance of an activity or the entire value chain.”
Dari
definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pengukuran kinerja adalah
tindakan pengukuran yang dilakukan terhadap berbagai aktivitas dalam rantai
nilai yang ada pada perusahaan. Hasil
pengukuran tersebut kemudian digunakan sebagai umpan balik yang akan memberikan
informasi tentang prestasi pelaksanaan suatu rencana dan titik di mana
perusahaan memerlukan penyesuaian-penyesuaian atas aktivitas perencanaan dan
pengendalian.
2.1.2 Tujuan Pengukuran Kinerja
Pengukuran kinerja mempunyai tujuan
pokok yaitu untuk memotivasi karyawan dalam mencapai sasaran organisasi dan
dalam mematuhi standar perilaku yang telah ditetapkan sebelumnya, agar
membuahkan tindakan dan hasil yang diinginkan.
Adapun
tujuan umum pengukuran kinerja adalah:
1.
untuk menentukan kontribusi suatu bagian dari perusahaan terhadap organisasi
secara keseluruhan.
2. memberikan dasar untuk mengevaluasi kinerja
masing-masing manajer.
3.
memotivasi para manajer untuk mengoperasikan divisinya secara konsisten
sehingga sesuai dengan tujuan pokok perusahaan.
Untuk itu
sistem pengukuran kinerja harus memenuhi tuntutan sebagai berikut:
1. Sistem tersebut
harus mencerminkan pemahaman organisasi yaitu sistem pengukuran kinerja harus
memonitor kinerja organisasi dan menggiring kinerja dalam tujuan utama
organisasi.
2. sistem
pengukuran kinerja harus mengukur aspek kritis yang penting atau
perbedaan-perbedaan dari kinerja organisasi untuk mencapai tujuan utama.
2.1.3 Manfaat
Pengukuran Kinerja
Menurut Lynch dan
Cross (1993), manfaat sistem pengukuran kinerja yang baik adalah sebagai
berikut:
a)
Menelusuri kinerja terhadap harapan pelanggan sehingga
akan membawa perusahaan lebih dekat pada pelanggannya dan membuat seluruh orang
dalam organisasi terlibat dalam upaya memberi kepuasan kepada pelanggan;
b)
Memotivasi pegawai untuk melakukan pelayanan sebagai
bagian dari mata-rantai pelanggan dan pemasok internal;
c)
Mengidentifikasi
berbagai pemborosan sekaligus mendorong upaya-upaya pengurangan terhadap
pemborosan tersebut (deduction of waste);
d)
Membuat
suatu tujuan strategis yang biasanya masih kabur menjadi lebih konkret sehingga
mempercepat proses pembelajaran organisasi;
e)
Membangun
konsensus untuk melakukan suatu perubahan dengan memberi “reward” atas perilaku
yang diharapkan tersebut.
2.1.4 Karakteristik Sistem Pengukuran Kinerja
Dengan munculnya bebagai paradigma
baru di mana bisnis harus digerakkan oleh customer-focused, suatu sistem
pengukuran kinerja yang efektif, paling tidak harus memiliki syarat-syarat
sebagai berikut:
a.
Didasarkan pada masing-masing aktivitas dan karakteristik
organisasi itu sendiri sesuai perspektif pelanggan;
b.
Evaluasi atas berbagai aktivitas, mengggunakan
ukuran-ukuran kinerja yang customer-validated;
c.
Sesuai dengan seluruh aspek kinerja aktivitas yang
mempengaruhi pelanggan, sehingga menghasilkan penilaian yang komprehensif;
d.
Memberikan umpan balik untuk membantu seluruh anggota
organisasi mengenali masalah-masalah yang mempunyai kemungkinan untuk diperbaiki.
2.2 Balanced Scorecard
Menurut Kaplan dan Norton (1996),
Balanced Scorecard merupakan:
“… a set of measures that gives top
managers a fast but comprehensive view of the business … includes financial
measures that tell the results of actions already taken … complements the
financial measures with operational measures on customers satisfaction,
internal processes, and the organization’s innovation and improvement
activities – operational measures that are the drivers of future financial
performance.”
Sementara,
Anthony, Banker, Kaplan, dan Young (1997) mendefinisikan Balanced Scorecard
sebagai: “a measurement and management system that views a business unit’s
performance from four perspectives: financial, customer, internal business
process, and learning and growth.”
Dengan
demikian, Balanced Scorecard merupakan suatu sistem manajemen, pengukuran, dan
pengendalian yang secara cepat, tepat, dan komprehensif dapat memberikan
pemahaman kepada manajer tentang performance bisnis. Pengukuran kinerja dengan Balanced Scorecard memandang
unit bisnis dari empat perspektif, yaitu perspektif keuangan, pelanggan, proses
bisnis dalam perusahaan, serta proses pembelajaran dan pertumbuhan. Melalui mekanisme sebab akibat (cause and
effect), perspektif keuangan menjadi tolak ukur utama yang dijelaskan oleh
tolak ukur operasional pada tiga perspektif lainnya sebagai driver (lead
indicator).
Selain
itu, Balanced Scorecard juga memberikan kerangka berpikir untuk menjabarkan
strategi perusahaan ke dalam segi operasional.
Sebelum Balanced Scorecard diimplemantasikan, pada saat penyusunan
(building) Balanced Scorecard, terlebih dulu dijabarkan dengan jelas visi,
misi, dan strategi perusahaan dari top-management perusahaan, karena hal ini
menentukan proses berikutnya berupa transaksi strategis kegiatan operasional.
Dengan
Balanced Scorecard, tujuan suatu unit usaha tidak hanya dinyatakan dalam suatu
ukuran keuangan saja, melainkan dijabarkan lebih lanjut ke dalam pengukuran
bagaimana unit usaha tersebut menciptakan nilai terhadap pelanggan yang ada
sekarang dan masa datang, dan bagaimana unit usaha tersebut harus meningkatkan
kemampuan internalnya termasuk investasi pada manusia, sistem, dan prosedur
yang dibutuhkan untuk memperoleh kinerja yang lebih baik di masa mendatang.
Melalui Balanced Scorecard diharapkan
bahwa pengukuran kinerja financial dan non financial dapat menjadi bagian dari
sistem informasi bagi seluruh pegawai dan tingkatan dalam organisasi.
2.2.1 Keunggulan
Balanced Scorecard
Balanced
Scorecard memiliki keunggulan yang menjadikan sistem manajemen strategik saat
ini berbeda secara signifikan dengan sistem manajemen strategik dalam manajemen
tradisional.
Manajemen strategik tradisional
hanya berfokus ke sasaran-sasaran yang bersifat keuangan, sedangkan sistem
manajemen strategik kontemporer mencakup perspektif yang luas yaitu keuangan,
customer, proses bisnis/intern, dan pembelajaran dan pertumbuhan.
Selain itu berbagai sasaran strategik yang dirumuskan
dalam sistem manajemen strategik tradisional tidak koheren satu dengan lainnya,
sedangkan berbagai sasaran strategik dalam sistem manajemen strategic
kontemporer dirumuskan secara koheren. Di
samping itu, Balanced Scorecard menjadikan sistem manajemen strategik
kontemporer memiliki karakteristik yang tidak dimiliki oleh sistem manajemen
strategik tradisional, yaitu dalam karakteristik keterukuran dan keseimbangan.
Keunggulan pendekatan Balanced
Scorecard dalam system perencanaan strategic adalah mampu menghasilkan rencana
strategic yang memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) komprehensif, (2)
koheren, (3) seimbang, (4) terukur.
Komprehensif
Balanced
Scorecard memperluas perspektif yang dicakup dalam perencanaan strategic, dari
yang sebelumnya hanya terbatas pada perspektif keuangan, meluas ke tiga
perspektif yang lain: customers, proses bisnis/intern, serta pembelajaran dan
pertumbuhan. Perluasan perspektif
rencana strategic ke perspektif nonkeuangan tersebut menghasilkan manfaat
berikut:
a. Menjanjikan kinerja keuangan yang
berlipatganda dan berjangka panjang,
b. Memampukan
perusahaan untuk memasuki lingkungan bisnis yang kompleks.
Balanced Scorecard memotivasi personel untuk mengarahkan
usahanya ke sasaran-sasaran strategik yang menjadi penyebab utama dihasilkannya
kinerja keuangan. Untuk menghasilkan
kinerja keuangan, personel harus mewujudkan sasaran dari perspektif
customer. Perusahaan harus mampu
menghasilkan produk dan jasa yang menghasilkan value terbaik bagi customers. Produk dan jasa yang menghasilkan value bagi
customers harus dihasilkan dari proses yang produktif dan cost effective. Proses yang produktif dan cost effective
harus dijalankan oleh personel yang produktif dan berkomitmen. Kinerja keuangan yang dihasilkan dari
perspektif customers, proses, serta pembelajaran dan pertumbuhan tersebut
merupakan kinerja keuangan yang sesungguhnya, yang berasal dari usaha nyata
dalam bisnis, sehingga kinerja keuangan yang demikian akan berlipatganda dan
berjangka panjang. Oleh karena kinerja
keuangan dapat dijelaskan dengan nyata penyebabnya, personel dapat mengulangi
sukses yang diperolehnya di lain kesempatan.
Kekomprehensivan sasaran strategik
merupakan respon yang pas untuk memasuki lingkungan bisnis yang kompleks. Dengan mengarahkan sasaran-sasaran strategik ke
empat perspektif, rencana strategik perusahaan mencakup lingkup yang luas, yang
memadai untuk menghadapi lingkungan bisnis yang kompleks.
Koheren
Balanced Scorecard mewajibkan personel
untuk membangun hubungan sebab akibat (causal relationship) di antara berbagai
sasaran strategik yang dihasilkan dalam
perencanaan strategik. Setiap sasaran
strategik yang ditetapkan dalam perspektif nonkeuangan harus mempunyai hubungan
kausal dengan sasaran keuangan, baik secara langsung maupun tidak
langsung.
Dengan
demikian, kekoherenan sasaran strategik yang dihasilkan dalam sistem
perencanaan strategik memotivasi personel untuk bertanggung jawab dalam mencari
inisiatif strategik yang bermanfaat untuk menghasilkan kinerja keuangan. Sistem perencanaan strategic yang
menghasilkan sasaran strategik yang koheren akan menjanjikan pelipatgandaan
kinerja keuangan berjangka panjang, karena personel dimotivasi untuk mencari
inisiatif strategik yang mempunyai manfaat bagi perwujudan sasaran strategik di
perspektif customers, proses bisnis/intern, pembelajaran dan pertumbuhan, atau
keuangan. Kekoherenan sasaran strategic
yang menjanjikan pelipatgandaan kinerja keuangan sangat dibutuhkan oleh
perusahaan untuk memasuki lingkungan bisnis yang kompetitif.
Kekoherenan
juga berarti dibangunnya hubungan sebab akibat antara keluaran yang dihasilkan
sistem perumusan strategi dengan keluaran yang dihasilkan sistem perencanaan
strategik. Sasaran strategik
yang dirumuskan dalam sistem perencanaan strategik merupakan penerjemahan visi,
tujuan, dan strategi yang dihasilkan sistem perumusan strategi.
Kekoherenan juga dituntut pada waktu
menjabarkan inisiatif strategik ke dalam program, dan penjabaran program ke
dalam rencana laba jangka pendek (budget).
Kekoherenan di antara keluaran yang dihasilkan oleh setiap tahap
perencanaan dalam sistem manajemen strategik (perumusan strategi, perencanaan
strategik, penyusunan program, dan penyusunan anggaran) menjanjikan kecepatan
respon perusahaan terhadap setiap perubahan yang terjadi di lingkungan bisnis
yang dimasuki oleh perusahaan. Kecepatan
respon ini sangat diperlukan oleh perusahaan untuk memasuki lingkungan bisnis
yang turbulen.
Seimbang
Keseimbangan
sasaran strategik yang dihasilkan oleh sistem perencanaan strategik penting
untuk menghasilkan kinerja keuangan berjangka panjang.
Berikut adalah gambar yang memperlihatkan garis
keseimbangan yang perlu diusahakan dalam menetapkan sasaran-sasaran strategic
di keempat perspektif.
Dalam gambar tersebut terlihat empat
sasaran strategik yang perlu diwujudkan oleh perusahaan: (1) financial returns
yang berlipatganda dan berjangka panjang (perspektif keuangan), (2) produk dan
jasa yang mampu menghasilkan value terbaik bagi customer (perspektif customer),
(3) proses yang produktif dan cost effective (perspektif proses bisnis/intern),
dan (4) sumber daya manusia yang produktif dan berkomitmen (perspektif
pembelajaran dan pertumbuhan).
Empat sasaran strategik itu dipisahkan oleh dua garis
keseimbangan yaitu garis vertical dan garis horizontal. Garis vertical digunakan untuk mengukur
keseimbangan antara pemusatan ke dalam (internal focus) dan pemusatan ke luar
(external focus). Sedangkan garis
horizontal digunakan untuk mengukur keseimbangan antara pemusatan ke proses
(process centric) dan pemusatan ke orang (people centric).
Terukur
Keterukuran sasaran strategik yang
dihasilkan oleh sistem perencanaan strategik menjanjikan ketercapaian berbagai
sasaran strategik yang dihasilkan oleh sistem tersebut. Semua sasaran strategik ditentukan oleh
ukurannya, baik untuk sasaran strategik di perspektif keuangan maupun sasaran
strategik di perspektif nonkeuangan.
Berikut
adalah ukuran kinerja dalam ke empat perspektif:
Perspektif
|
Ukuran kinerja
|
Keuangan
|
Return On Investment (ROI)
Revenue Mix
Asset
Turnover
Berkurangnya
biaya secara signifikan
|
Customer
|
Jumlah customer baru
Jumlah customer yang hilang
Kecepatan waktu layanan customer
|
Proses bisnis/intern
|
Cycle time
On time delivery
Cycle effectiveness
|
Pembelajaran dan pertumbuhan
|
Skill coverage
Quality work life index
|
Gambar 2.2 Ukuran Kinerja dalam 4 Perspektif Balanced
Scorecard
Dengan Balanced Scorecard,
sasaran-sasaran strategik yang sulit diukur, seperti sasaran-sasaran strategik
di perspektif nonkeuangan, ditentukan ukurannya agar dapat dikelola, sehingga
dapat diwujudkan. Dengan demikian
keterukuran sasaran-sasaran strategik di perspektif nonkeuangan tersebut
menjanjikan perwujudan berbagai sasaran strategik nonkeuangan, sehingga kinerja
keuangan dapat berlipat ganda dan berjangka panjang.
2.2.2 Hubungan Balanced Scorecard dengan Visi,
Misi, dan Strategi Perusahaan
Sistem pengukuran
kinerja harus dapat memotivasi para manajer dan karyawan untuk mengimplementasikan
strategi unit bisnisnya. Perusahaan yang
dapat menerjemahkan strateginya ke dalam sistem pengukuran akan memiliki
kemampuan yang lebih baik dalam menjalankan strategi tersebut, sebab mereka
telah mengkomunikasikan tujuan dan targetnya kepada para pegawai. Komunikasi ini akan memfokuskan mereka pada
pemicu-pemicu kritis, memungkinkan mereka untuk mengarahkan investasi,
inisiatif, dan tindakan-tindakan dengan menyempurnakan tujuan-tujuan strategis.
Kaplan dan Norton menyatakan
pentingnya penciptaan suatu scorecard yang mengkomunikasikan suatu strategi
unit bisnis sebagai berikut:
a. the scorecard describes the organization’s
vision of the future to the entire organization. It creates shared understanding.
b. the scorecard creates a holistic model of
strategy that allows all employees to see how they contribute to organizational
success. Without such linkage,
individuals and departments can optimize their local performance but not
contribute to achieving strategic objectives.
c. the scorecard focuses change efforts. If the right objectives and measures are
identified, successful implementation will likely occur. If not, investments and initiatives will be
wasted.
Selanjutnya
Kaplan dan Norton juga mengemukakan tiga prinsip yang memungkinkan Balanced
Scorecard organisasi terhubung dengan strategi, yaitu: cause-and-effect
relationships, performance drivers dan linkage to financial.
a. Cause-and-effect relationships
Prinsip ini sangat penting bagi Balanced
Scorecard karena prinsip inilah yang membedakan Balanced Scorecard dengan
konsep-konsep yang lain. Dengan prinsip
ini, Balanced Scorecard mampu menjabarkan tujuan dan pengukuran masing-masing
perspektif dengan baik dalam satu kesatuan yang padu. Menurut Kaplan dan Norton, sebuah strategi
adalah seperangkat hipotesis dalam model hubungan cause and effect, yaitu suatu
hubungan yang dapat diekspresikan melalui kaitan antara pernyataan
if-then. Pengembangan Balanced Scorecard
yang baik harus dapat menjelaskan rangkaian cerita dari seluruh Strategic
Business Unit (SBU) dalam hubungan cause dan effect. Melalui model hubungan cause and effect ini
pula, suatu strategi dapat dianimasikan dan dikritisi bersama, baik sebelum,
selama, dan sesudah dieksekusi. Pengujian
terhadap sekumpulan scorecard dapat dilakukan dengan mudah karena tiap relasi
dan hubungan kausalitas dapat diuji secara rinci.
b. Performance Drivers
Sebuah Balanced Scorecard yang baik harus
memiliki bauran hasil (lagging indicators) yang memadai dan pemicu kinerja
(leading indicators) yang digunakan oleh SBU.
Outcomes (lagging indicators)
mencerminkan tujuan umum dari berbagai strategi yang dimiliki oleh kebanyakan
perusahaan, seperti profitability, market share, customer satisfaction,
customer retention, dan employee skills.
Sedangkan performance drivers (leading indicators) mencerminkan keunikan
strategi unit bisnis. Identifikasi
performance drivers membantu mengatasi kelemahan dari outcome measures. Pemahaman mengenai pertumbuhan segmen pasar
(outcome measures) akan lebih bermanfaat jika diketahui faktor-faktor yang
menyebabkan pergerakannya.
c. Linkage to Financials
Adanya kritik terhadap pengukuran
kinerja berbasis laporan keuangan tidak lantas menghasilkan rekomendasi untuk
membuang tolak ukur keuangan.
Keberhasilan perusahaan dalam pencapaian berbagai tujuan seperti
kualitas, kepuasan pelanggan, inovasi dan pemberdayaan karyawan tidak akan
memberikan perbaikan terhadap perusahaan apabila hal tersebut hanya dianggap
sebagai tujuan akhir. Semua pengukuran
yang berkaitan dengan pencapaian tujuan perusahaan harus dikaitkan dengan
tujuan keuangan sebagai tujuan akhir. Hal ini seperti dikatakan Kaplan dan
Norton: “Ultimately, causal paths from all the measures on a scorecard should
be linked to financial objectives.” Dengan
demikian, tolak ukur keuangan dapat digunakan untuk menguji hasil dari
performance driver, dalam hal, sejauh mana efektivitasnya dalam memberikan
hasil.
Sebagai
ilustrasi sederhana adalah dalam suatu pertandingan sepakbola, kedua tim yang
bertanding bebas mengembangkan strategi dan taktik permainan yang terbaik. Namun, pemenang pertandingan bukanlah mereka
yang telah mengembangkan permainan dengan cantik. Apapun strategi yang digunakan, pemenang
pertandingan adalah mereka yang lebih banyak mencetak gol. Mencetak
gol seumpama outcome measures. Sedangkan
strategi permainan itulah yang dikenal dalam Balanced Scorecard sebagai
Performance Driver.
2.3 Perspektif
Balanced Scorecard
2.3.1 Perspektif
Keuangan
Secara
tradisional, laporan keuangan merupakan indicator historis-agregatif yang
merefleksikan akibat dari implementasi dan eksekusi strategi dalam satu
periode.
Pengukuran kinerja keuangan akan
menunjukkan apakah perencanaan dan pelaksanaan strategi memberikan perbaikan
yang mendasar bagi keuntungan perusahaan.
Perbaikan-perbaikan ini tercermin dalam sasaran-sasaran yang secara
khusus berhubungan dengan keuntungan yang terukur, pertumbuhan usaha, dan nilai
pemegang saham.
Pengukuran kinerja keuangan
mempertimbangkan adanya tahapan dari siklus kehidupan bisnis, yaitu: growth,
sustain, dan harvest. Tiap tahapan
memiliki sasaran yang berbeda, sehingga penekanan pengukurannya pun berbeda
pula.
Growth
adalah tahapan awal siklus kehidupan perusahaan dimana perusahaan memiliki
produk atau jasa yang secara signifikan memiliki potensi pertumbuhan
terbaik. Di sini, manajemen terikat
dengan komitmen untuk mengembangkan suatu produk atau jasa baru, membangun dan
mengembangkan suatu produk/jasa dan fasilitas produksi, menambah kemampuan
operasi, mengembangkan system, infrastruktur, dan jaringan distribusi yang akan
mendukung hubungan global, serta membina dan mengembangkan hubungan dengan
pelanggan.
Dalam tahap pertumbuhan, perusahaan
biasanya beroperasi dengan arus kas yang negatif dengan tingkat pengembalian
modal yang rendah. Dengan demikian,
tolak ukur kinerja yang cocok dalam tahap ini adalah, misalnya, tingkat
pertumbuhan pendapatan atau penjualan dalam segmen pasar yang telah
ditargetkan.
Sustain
adalah tahapan kedua di mana perusahaan masih melakukan investasi dan
reinvestasi dengan mengisyaratkan tingkat pengembalian terbaik. Dalam tahap ini, perusahaan mencoba
mempertahankan pangsa pasar yang ada, bahkan mengembangkannya, jika
mungkin. Investasi yang dilakukan
umumnya diarahkan untuk menghilangkan bottleneck, mengembangkan kapasitas, dan
meningkatkan perbaikan operasional secara konsisten. Sasaran keuangan pada tahap ini diarahkan
pada besarnya tingkat pengembalian atas investasi yang dilakukan. Tolak ukur yang kerap digunakan pada tahap
ini, misalnya ROI, ROCE, dan EVA.
Harvest
adalah tahapan ketiga di mana perusahaan benar-benar memanen/menuai hasil
investasi di tahap-tahap sebelumnya.
Tidak ada lagi investasi besar, baik ekspansi maupun pembangunan
kemampuan baru, kecuali pengeluaran untuk pemeliharaan dan perbaikan
fasilitas. Sasaran keuangan utama dalam
tahap ini, sehingga diambil sebagai tolak ukur, adalah memaksimumkan arus kas
masuk dan pengurangan modal kerja.
2.3.2 Perspektif Pelanggan
Filosofi manajemen terkini telah
menunjukkan peningkatan pengakuan atas pentingnya customer focus dan customer
satisfaction. Perspektif ini
merupakan leading indicator. Jadi, jika
pelanggan tidak puas mereka akan mencari produsen lain yang sesuai dengan
kebutuhan mereka. Kinerja yang buruk
dari perspektif ini akan menurunkan jumlah pelanggan di masa depan meskipun
saat ini kinerja keuangan terlihat baik.
Perspektif pelanggan memiliki dua kelompok pengukuran,
yaitu: customer core measurement dan customer value prepositions.
1) Customer
Core Measurement
Customer core measurement memiliki
beberapa komponen pengukuran, yaitu: market share, customer retention, customer
acquisition, customer satisfaction, dan customer profitability.
Market Share; Pengukuran ini mencerminkan
bagian yang dikuasai perusahaan atas keseluruhan pasar yang ada, yang meliputi
antara lain: jumlah pelanggan, jumlah penjualan, dan volume unit penjualan.
Customer Retention; Mengukur tingkat
di mana perusahaan dapat mempertahankan hubungan dengan konsumen.
Customer
Acquisition; mengukur tingkat di mana suatu unit bisnis mampu menarik pelanggan
baru atau memenangkan bisnis baru.
Customer
Satisfaction; Menaksir tingkat kepuasan pelanggan terkait dengan kriteria
kinerja spesifik dalam value proposition.
Customer
Profitability; Mengukur laba bersih dari seorang pelanggan atau segmen setelah
dikurangi biaya yang khusus diperlukan untuk mendukung pelanggan tersebut.
2) Customer Value Proposition
Customer value proposition merupakan
pemicu kinerja yang terdapat pada core value proposition yang didasarkan pada
atribut sebagai berikut: product/service attributes, customer relationship, dan
image and relationship.
a) Product/service
attributes
Meliputi fungsi dari produk atau jasa,
harga, dan kualitas. Pelanggan memiliki
preferensi yang berbeda-beda atas produk yang ditawarkan. Ada yang mengutamakan fungsi dari produk, kualitas, atau
harga yang murah. Perusahaan harus
mengidentifikasikan apa yang diinginkan pelanggan atas produk yang
ditawarkan. Selanjutnya pengukuran
kinerja ditetapkan berdasarkan hal tersebut.
b) Customer
relationship
Menyangkut
perasaan pelanggan terhadap proses pembelian produk yang ditawarkan
perusahaan. Perasaan konsumen ini sangat
dipengaruhi oleh responsivitas dan komitmen perusahaan terhadap pelanggan
berkaitan dengan masalah waktu penyampaian.
Waktu merupakan komponen yang penting dalam persaingan perusahaan. Konsumen biasanya menganggap penyelesaian
order yang cepat dan tepat waktu sebagai faktor yang penting bagi kepuasan
mereka.
c) Image and
reputation
Menggambarkan faktor-faktor
intangible yang menarik seorang konsumen untuk berhubungan dengan
perusahaan. Membangun image dan reputasi
dapat dilakukan melalui iklan dan menjaga kualitas seperti yang dijanjikan.
2.3.3 Perspektif
Proses Bisnis Internal
Analisis
proses bisnis internal perusahaan dilakukan dengan menggunakan analisis
value-chain. Disini, manajemen
mengidentifikasi proses internal bisnis yang kritis yang harus diunggulkan
perusahaan. Scorecard dalam perspektif
ini memungkinkan manajer untuk mengetahui seberapa baik bisnis mereka berjalan
dan apakah produk dan atau jasa mereka sesuai dengan spesifikasi
pelanggan. Perspektif ini harus didesain
dengan hati-hati oleh mereka yang paling mengetahui misi perusahaan yang mungkin
tidak dapat dilakukan oleh konsultan luar.
Perbedaan perspektif bisnis internal
antara pendekatan tradisional dan pendekatan Balanced Scorecard adalah:
1. Pendekatan
tradisional berusaha untuk mengawasi dan memperbaiki proses bisnis yang sudah
ada sekarang. Sebaliknya, Balanced
Scorecard melakukan pendekatan atau berusaha untuk mengenali semua proses yang
diperlukan untuk menunjang keberhasilan strategi perusahaan, meskipun
proses-proses tersebut belum dilaksanakan.
2. Dalam
pendekatan tradisional, system pengukuran kinerja hanya dipusatkan pada
bagaimana cara menyampaikan barang atau jasa.
Sedangkan dalam pendekatan Balanced scorecard, proses inovasi dimasukkan
dalam perspektif proses bisnis internal.
Aktivitas penciptaan nilai
perusahaan, terangkai dalam suatu rantai nilai yang dimulai dari proses
perolehan bahan baku sampai penyampaian produk jadi ke konsumen. Hal
ini sejalan dengan apa yang dikatakan Shank dan Govindarajan, yaitu: “The value
chain for any firm in any business is linked set of value
creating-activities----from basic raw material sources to the ultimate product
or service that is delivered to customers.”
Aktivitas penciptaan nilai di atas diistilahkan sebagai proses bisnis
internal.
Kaplan
dan Norton membagi proses bisnis internal ke dalam: inovasi, operasi, dan layanan
purna jual.
1. Proses
inovasi
Dalam proses ini, unit bisnis menggali
pemahaman tentang kebutuhan laten dari pelanggan dan menciptakan produk dan
jasa yang mereka butuhkan. Proses
inovasi dalam perusahaan biasanya dilakukan oleh bagian R&D sehingga setiap
keputusan pengeluaran suatu produk ke pasar telah memenuhi syarat-syarat
pemasaran dan dapat dikomersialkan (didasarkan pada kebutuhan pasar). Aktivitas R&D ini merupakan aktivitas penting dalam
menentukan kesuksesan perusahaan, terutama untuk jangka panjang.
2. Proses Operasi
Proses operasi
adalah proses untuk membuat dan menyampaikan produk/jasa. Aktivitas di dalam proses operasi terbagi ke
dalam dua bagian: 1) proses pembuatan produk, dan 2) proses penyampaian produk
kepada pelanggan. Pengukuran kinerja
yang terkait dalam proses operasi dikelompokkan pada: waktu, kualitas, dan
biaya.
3. Proses
Pelayanan Purna Jual
Proses
ini merupakan jasa pelayanan pada pelanggan setelah penjualan produk/jasa
tersebut dilakukan. Aktivitas yang
terjadi dalam tahapan ini, misalnya penanganan garansi dan perbaikan penanganan
atas barang rusak dan yang dikembalikan serta pemrosesan pembayaran
pelanggan. Perusahaan dapat mengukur
apakah upayanya dalam pelayanan purna jual ini telah memenuhi harapan
pelanggan, dengan menggunakan tolak ukur yang bersifat kualitas, biaya, dan
waktu seperti yang dilakukan dalam proses operasi. Untuk siklus waktu, perusahaan dapat
menggunakan pengukuran waktu dari saat keluhan pelanggan diterima hingga
keluhan tersebut diselesaikan.
Baca selengkapnya »