FB LIKE

JUDUL SKRIPSI 

Pengaruh asimetri informasi dan ukuran perusahaan terhadap praktek manajemen laba pada perusahaan manufaktur di BEJ


BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang Masalah
Earnings atau laba merupakan komponen keuangan yang menjadi pusat perhatian sekaligus dasar pengambilan keputusan bagi pihak-pihak yang berkepentingan, misalnya digunakan untuk menilai kinerja perusahaan ataupun kinerja manajer sebagai dasar untuk memberikan bonus kepada manajer, dan juga digunakan sebagai dasar penghitungan penghasilan kena pajak. Manajemen laba merupakan hal yang perlu dipahami oleh akuntan karena akan meningkatkan pemahaman mengenai kegunaan informasi net income, baik yang dilaporkan kepada investor, kreditor, maupun fiskus.
Laporan keuangan merupakan sarana pengkomunikasian informasi keuangan kepada pihak-pihak di luar korporasi. Dalam penyusunan laporan keuangan, dasar akrual dipilih karena lebih rasional dan adil dalam mencerminkan kondisi keuangan perusahaan secara riil, namun di sisi lain penggunaan dasar akrual dapat memberikan keleluasaan kepada pihak manajemen dalam memilih metode akuntansi selama tidak menyimpang dari aturan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku. Pilihan metode akuntansi yang secara sengaja dipilih oleh manajemen untuk tujuan tertentu dikenal dengan sebutan manajemen laba.
Sampai saat ini manajemen laba merupakan area yang paling kontroversial dalam akuntansi keuangan. Pihak yang kontra terhadap manajemen laba seperti investor, berpendapat bahwa manajemen laba merupakan pengurangan keandalan informasi laporan keuangan sehingga dapat menyesatkan dalam pengambilan keputusan. Di lain sisi pihak yang pro terhadap manajemen laba seperti manajer, menganggap bahwa manajemen laba merupakan hal yang fleksibel untuk melindungi diri mereka dan perusahaan dalam mengantisipasi kejadian yang tidak terduga.
Manajemen laba sebagai suatu fenomena dipengaruhi oleh berbagai macam faktor yang menjadi pendorong timbulnya fenomena tersebut. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi manajemen laba. Watt dan Zimmerman sebagaimana dikutip Sugiri (1998) membagi motivasi manajemen laba menjadi tiga, yaitu bonus plan hypothesis, debt to equity hypothesis, dan political cost hypothesis. Hipotesis bonus plan menyatakan bahwa manajer pada perusahaan dengan bonus plan cenderung untuk menggunakan metode akuntansi yang akan meningkatkan income saat ini. Debt to equity hypothesis menyebutkan bahwa pada perusahaan yang mempunyai rasio debt to equity besar maka manajer perusahaan tersebut cenderung menggunakan metode akuntansi yang akan meningkatkan pendapatan maupun laba. Adapun political cost hypothesis menyatakan bahwa perusahaan yang besar, yang kegiatan operasinya menyentuh sebagian besar masyarakat akan cenderung untuk mengurangi laba yang dilaporkan.
Beberapa peneliti telah menemukan bahwa asimetri informasi dapat mempengaruhi manajemen laba. Teori keagenan (Agency Theory) mengimplikasikan adanya asimetri informasi antara manajer sebagai agen dan pemilik (dalam hal ini adalah pemegang saham) sebagai prinsipal. Asimetri informasi  muncul ketika manajer lebih mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan pemegang saham dan stakeholder lainnya. dikaitkan dengan peningkatan nilai perusahaan, ketika terdapat asimetri informasi, manajer dapat memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada investor guna memaksimisasi nilai saham perusahaan. Sinyal yang diberikan dapat dilakukan melalui pengungkapan (disclosure) informasi akuntansi.
Keberadaan asimetri informasi dianggap sebagai penyebab manajemen laba. Richardson (1998) dalam Rahmawati dkk. (2006) berpendapat bahwa terdapat hubungan yang sistematis antara magnitut asimetri informasi dengan tingkat manajemen laba. Adanya asimetri informasi akan mendorong manajer untuk menyajikan informasi yang tidak sebenarnya terutama jika informasi tersebut berkaitan dengan pengukuran kinerja manajer. Fleksibelitas manajemen untuk memanajemeni laba dapat dikurangi dengan menyediakan informasi yang lebih berkualitas bagi pihak luar. Kualitas laporan keuangan akan mencerminkan tingkat manajemen laba.
Variabel lain yang berkorelasi dengan manajemen laba adalah ukuran perusahaan. Mpaata dan Sartono (1997) mengatakan bahwa besaran perusahaan atau skala perusahaan adalah ukuran perusahaan yang ditentukan dari jumlah total asset yang dimiliki perusahaan. Penelitian Defond (1993) dalam Veronica dan Bachtiar (2003) menemukan bahwa ukuran perusahaan berkorelasi secara positif dengan manajemen laba. Perusahaan besar mempunyai insentif yang cukup besar untuk melakukan manajemen laba, karena salah satu alasan utamanya adalah perusahaan besar harus mampu memenuhi ekspektasi dari investor atau pemegang sahamnya. Selain itu semakin besar perusahaan, semakin banyak estimasi dan penilaian yang perlu diterapkan untuk tiap jenis aktivitas perusahaan yang semakin banyak
Penelitian yang akan dilakukan merupakan replikasi dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Rahmawati dkk. (2006). Mereka melakukan penelitian mengenai pengaruh asimetri informasi terhadap praktik manajemen laba pada perusahaan perbankan publik yang terdaftar di BEJ. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa variabel independen asimetri informasi berpengaruh secara positif signifikan dan mampu menjelaskan variabel dependen manajemen laba. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu pada variabel independen yang digunakan. Peneliti sebelumnya hanya menggunakan asimetri informasi sebagai variabel independennya, oleh karena itu, penulis menambahkan ukuran perusahaan sebagai variabel independen selain asimetri informasi. Selain itu peneliti sebelumnya menggunakan perusahaan perbankan publik yang terdaftar di BEJ sebagai sampel  sedangkan penulis menggunakan perusahaan manufaktur yang go public di BEJ sebagai sampel

1.2    Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.         Apakah asimetri informasi berpengaruh signifikan terhadap praktik manajemen laba?
2.         Apakah ukuran perusahaan berpengaruh signifikan terhadap praktik manajemen laba?

1.3    Pembatasan Masalah
Terdapat banyak faktor yang bisa mempengaruhi manajemen laba. Dalam penelitian ini, pembahasannya lebih ditekankan pada keterkaitan antara variabel asimetri informasi dan ukuran perusahaan yang diuji pengaruhnya terhadap variabel manajemen laba.

1.4    Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.4.1        Tujuan Penelitian
Sesuai dengan masalah yang telah dirumuskan, maka tujuan dari penelitian ini adalah :
1.           Untuk mendapatkan bukti empiris tentang pengaruh asimetri informasi terhadap praktik manajemen laba
2.           Untuk mendapatkan bukti empiris tentang pengaruh ukuran perusahaan terhadap praktik manajemen laba

1.4.2        Manfaat Penelitian
Penelitian yang akan dilaksanakan ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang positif bagi:
1.           Bagi investor, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar masukan dan pertimbangan dalam pengambilan keputusan investasi saham, terutama dalam menilai kualitas laba yang dilaporkan dalam laporan keuangan
2.           Bagi pengelola pasar modal, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan dan pertimbangan mengenai sejauh mana asimetri informasi dan ukuran perusahaan itu mempengaruhi manajemen laba sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu acuan untuk mendorong perusahaan agar menyajikan informasi yang lebih berkualitas bagi pihak luar.
3.           Bagi kreditur, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar dan pertimbangan dalam pengambilan keputusan pemberian kredit dan memungkinkan mereka untuk memutuskan apakah kredit yang diberikan dapat dibayar perusahaan pada saat jatuh tempo
4.           Bagi akademisi, hasil yang ditemukan dalam penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan dan pedoman bagi peneliti di masa yang akan datang yang juga tertarik membahas permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini

1.5    Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pemahaman dan untuk mencapai sasaran yang diinginkan, maka pembahasan mengenai pengaruh asimetri informasi dan ukuran perusahaan terhadap praktek manajemen laba pada perusahaan manufaktur di BEJ ini akan dibagi dalam lima bab dengan sistematika sebagai berikut:
            Bab satu merupakan pendahuluan yang terdiri atas: latar belakang masalah, perumusan masalah, pembatasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
            Bab dua membahas mengenai landasan teori dan pengembangan hipotesis yang menguraikan tentang teori keagenan, tinjauan tentang manajemen laba, tinjauan tentang asimetri informasi dan teori bid-ask spread, dan tinjauan tentang ukuran perusahaan.
            Bab tiga merupakan bab yang akan menjelaskan mengenai metodologi penelitian yang akan digunakan yang meliputi sumber data, populasi dan sampel penelitian, metode pengumpulan data, variabel penelitian dan pengukurannya.
            Bab empat menjelaskan tentang analisis dan hasil pembahasannya yang meliputi deskripsi data, analisis statistik deskriptif, hasil pengujian asumsi klasik, dan pengujian hipotesis. 
            Bab lima merupakan bagian penutup yang berisikan kesimpulan, keterbatasan dan implikasi penelitian dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya.






JUDUL SKRIPSI 
”ANALISIS PERKEMBANGAN KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH DALAM MENDUKUNG PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DI KABUPATEN SUKOHARJO”


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Organisasi  pemerintah merupakan salah satu bentuk organisasi non profit yang bertujuan meningkatan pelayanan kepada masyarakat umum yang dapat berupa peningkatan keamanan, peningkatan mutu pendidikan atau peningkatan mutu kesehatan dan lain-lain. Selain itu organisasi non profit ini merupakan organisasi yang orientasi utamanya bukan untuk mencari laba.
Apabila dibandingkan dengan organisasi lain, organisasi pemerintah memiliki karakteristik tersendiri yang lebih terkesan sebagai lembaga politik daripada lembaga ekonomi. Akan tetapi, sebagaimana bentuk-bentuk kelembagaan lainnya, lembaga / organisasi pemerintah juga memiliki aspek sebagai lembaga ekonomi. Lembaga pemerintahan melakukan berbagai bentuk pengeluaran guna membiayai kegiatan-kegiatan yang dilakukan di satu sisi, dan di sisi lain lembaga ini harus melakukan berbagai upaya untuk memperoleh penghasilan guna menutupi seluruh biaya tersebut.
Dalam melaksanakan aktivitas ekonominya, organisasi atau lembaga pemerintah membutuhkan jasa akuntansi untuk pengawasan dan menghasilkan informasi keuangan yang akan digunakan untuk pengambilan keputusan-keputusan ekonominya. Akan tetapi, karena sifat lembaga pemerintahan berbeda dari sifat perusahaan yang bertujuan mencari laba, maka sifat akuntansi pemerintahan berbeda dari sifat akuntansi perusahaan. Dengan adanya akuntansi pemerintahan maka pemerintah harus mempunyai rencana yang matang untuk suatu tujuan yang dicita-citakan sesuai dengan penerapan akuntansi pemerintahan di Indonesia.
Dengan ditetapkannya Undang-Undang No. 22 tahun 1999 jo Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah  serta Undang-Undang No. 25 tahun 1999 jo Undang-Undang  No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara pusat dan daerah akan dapat memberikan kewenangan atau otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada pemerintah daerah secara secara proporsional. Hal ini diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional, serta perimbangan keuangan daerah dan pusat secara demokratis, peran serta masyarakat, pemerataan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keragaman daerah, terutama kepada Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Kota. Tujuan pemberian keuangan dalam penyelenggaraan Otonomi Daerah adalah guna meningkatkan kesejahteraan rakyat, pemerataan dan keadilan sosial.
Menurut Undang-Undang No. 32 tahun 2004 pasal 1 ayat 5. Otonomi Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom  untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Berkaitan dengan hal tersebut peranan pemerintah daerah sangat menentukan berhasil tidaknya menciptakan kemandirian yang selalu didambakan Pemerintah Daerah. Terlepas dari perdebatan mengenai ketidaksiapan daerah di berbagai bidang untuk melaksanakan kedua Undang-Undang tersebut, otonomi daerah diyakini merupakan jalan terbaik dalam rangka mendorong pembangunan daerah. Menggantikan system pembangunan terpusat yang oleh beberapa pihak dianggap sebagai penyebab lambannya pembangunannya di daerah dan semakin besarnya ketimpangan antar daerah.
Di dalam pelaksanaan Otonomi Daerah terdapat empat elemen penting yang diserahkan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Ke empat elemen tersebut menurut Cheema dan Rondinelli (dalam Anita Wulandari, 2001:17), adalah Desentralisasi Politik , Desentralisasi Fiskal, Desentralisasi Administrasi dan Desentralisasi Ekonomi. Keempat elemen tersebut menjadi kewajiban daerah untuk mengelola secara efisien dan efektif. Sehingga dengan demikian akan terjadi kemampuan / kemandirian suatu daerah untuk melaksanakan fungsinya dengan dengan baik. Salah satu elemen yang diserahkan pemerintah pusat kepada pemerintah deerah adalah desentralisasi fiskal. Desentralisasi fiskal yang merupakan komponen utama dari desentralisasi pelaksanaan otonomi daerah dan menandai dimulainya babak baru dalam pembangunan daerah serta masyarakatnya dalam mengelola sumber daya / segenap potensi yang dimiliki untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemajuan daerah.
Dengan adanya otonomi daerah, kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah akan semakin besar sehingga tanggung jawab yang diembannya akan bertambah banyak. Implikasi dari adanya kewenangan urusan pemerintahan yang begitu luas yang diberikan kepada daerah dalam rangka otonomi daerah dapat menjadi suatu berkah bagi daerah. Namun disisi lain bertambahnya kewenangan daerah tersebut juga merupakan beban yang menuntut kesiapan daerah untuk pelaksanaannya, karena semakin besar urusan pemerintah yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Oleh karena itu ada beberapa aspek yang harus dipersiapkan antara lain sumber daya manusia, sumber daya keuangan, sarana dan pra sarana daerah. Aspek keuangan merupakan salah satu dasar kriteria untuk dapat mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri. Kemampuan daerah yang dimaksud adalah sampai sejauh mana daerah dapat menggali sumber-sumber keuangan sendiri guna membiayai kebutuhan keuangan daerah tanpa harus menggantungkan diri pada bantuan dan subsidi dari pemerintah pusat.
Kemampuan pemerintah daerah dalam mengelola keuangan tercermin dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai kegiatan pelaksanaan tugas pembangunan, serta pemerataan dan keadilan dengan mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah.
Salah satu ciri utama daerah mampu dalam melaksanakan otonomi daerah menurut Yuliati (2001:22), adalah terletak pada kemampuan keuangan daerah untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya dengan tingkat ketergantungan kepada pemerintah pusat mempunyai proporsi yang semakin mengecil dan diharapkan bahwa PAD harus menjadi bagian terbesar dalam memobilisasi dana penyelenggaraan pemerintah daerah. Pendapatan Asli Daerah merupakan salah satu faktor yang penting dalam pelaksanaan roda pemerintahan suatu daerah yang berdasar pada prinsip otonomi yang nyata, luas dan bertanggung jawab. Peranan Pendapatan Asli Daerah dalam  keuangan daerah menjadi salah satu tolak ukur penting dalam pelaksanaan otonomi daerah, dalam arti semakin besar suatu daerah memperoleh dan menghimpun PAD maka akan semakin besar pula tersedianya jumlah keuangan daerah yang dapat digunakan untuk membiayai penyelenggaraan Otonomi Daerah.
Anita Wulandari (2001), melakukan penelitian tentang kemampuan keuangan daerah di kota Jambi dalam pelaksanaan Otonomi Daerah. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan Otonomi Daerah, kota Jambi dihadapkan pada kendala rendahnya kemampuan keuangan daerah, yang dilihat dari rendahnya kontribusi Pendapatan Asli Daerah.
Widodo (2001), melakukan penelitian tentang Analisis Rasio Keuangan APBD Kabupaten Boyolali. Hasilnya menunjukkan bahwa kemandirian pemerintah daerah Boyolali dalam memenuhi kebutuhan dana untuk penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan pelayanan sosial kemasyarakatan masih relatif rendah dan cenderung menurun.
Dengan mengacu pada penelitian sebelumnya, tentu saja disesuaikan dengan kemampuan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki, penulis ingin mereplikasi dan mengembangkan penelitian-penelitian tersebut. Akan tetapi terdapat beberapa perbedaan, antara lain:
1.      Periode penelitian. Penelitian ini dilakukan pada periode tahun 2001-2005, sedangkan penelitian sebelumnya pada periode sebelum tahun 2002.
2.      Daerah penelitian. Penelitian ini mengambil daerah penelitian di Kabupaten Sukoharjo, sedangkan peneliti terdahulu mengambil daerah penelitian di kota Jambi, Boyolali, dan Sragen.
Berdasarkan uraian sebelumnya, penulis tertarik unuk melakukan penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul :
”ANALISIS PERKEMBANGAN KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH DALAM MENDUKUNG PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DI KABUPATEN SUKOHARJO”

B.     Perumusan Masalah

Perumusan masalah yang akan dibahas dalam penilitian ini adalah: ”Apakah tedapat perkembangan kemampuan keuangan daerah di kabupaten Sukoharjo dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi daerah?”

C.    Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah dalam penelitian ini lebih terfokus pada perkembangan APBD di Kabupaten Sukoharjo tahun anggaran 2001-2005.

D.    Tujuan Penelitian

Berdasar latar belakang masalah tersebut diatas, maka tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui tingkat perkembangan kemampuan keuangan di Kabupaten Sukoharjo dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi daerah.



E.     Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah:
1.      Menjadi bahan masukan bagi perencanaan pembangunan dan pengambilan keputusan pembangunan dalam rangka meningkatkan pelaksanaan otonomi daerah.
2.      Dapat dijadikan acuan atau referansi untuk penelitian berikutnya.
F.     Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran penelitian yang lebih jelas dan sistematis agar mempermudah bagi pembaca dalam memahami penulisan penelitian ini. Dari masing-masing bab secara garis besar dapat diuaraikan sebagai berikut
BAB I       PENDAHULUAN
Pada bab ini akan diuaraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, pembatasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan skripsi.
BAB II     TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini berisi pembahasan tentang akuntansi pemerintahan, otonomi daerah, tinjauan keuangan daerah, anggaran pendapatan belanja daerah (APBD), analisis rasio APBD dan tinjauan penelitian terdahulu.
BAB III    METODE PENELITIAN
Pada bab ini berisi tentang jenis penelitian, obyek penelitian, data dan sumber data, serta metode analisis data.
BAB IV    ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini membahas tentang gambaran umum Kabupaten Sukoharjo, baik kondisi geografis maupun segi ekonomi dan hasil analitis data serta pembahasannya.
BAB V     PENUTUP
Pada bab ini berisi tentang kesimpulan hasil analisis data dan pembahasan serta saran-saran yang dapat diberikan kepada pemerintah kabupaten Sukoharjo.

Baca selengkapnya »



BAB  I
PENDAHULUAN

A.    Alasan Pemilihan Judul

Perusahaan, baik milik negara maupun swasta sebagai suatu pelaku ekonomi tidak bisa lepas dari kondisi globalisasi  ekonomi dewasa ini.  Era globalisasi akan mempertajam persaingan-persaingan diantara perusahaan, sehingga perlu pemikiran yang makin kritis atas pemanfaatan secara optimal penggunaan berbagai sumber dana dan daya yang ada.  Sebagai  konsekuensi logis dari timbulnya persaingan yang semakin tajam, ada tiga kemungkinan yaitu mundur, bertahan atau tetap unggul dan bahkan semakin berkembang.  Agar perusahaan dapat bertahan atau bahkan berkembang diperlukan upaya penyehatan dan penyempurnaan meliputi peningkatan produktivitas, efisiensi serta efektifitas pencapaian tujuan perusahaan.  Menghadapi hal ini, berbagai kebijakan dan strategi terus diterapkan dan ditingkatkan.  Kebijakan yang ditempuh manajemen antara lain meningkatkan pengawasan dalam perusahaan (internal control).
Dalam perusahaan, pelaksanaan pengawasan dapat dilaksanakan secara langsung oleh pemiliknya sendiri dan dapat pula melalui sistem internal control.  Dengan semakin berkembangnya perusahaan maka kegiatan dan masalah yang dihadapi perusahaan semakin kompleks, sehigga semakin sulit bagi pihak pimpinan untuk    melaksanakan   pengawasan   secara   langsung   terhadap   seluruh  aktivitas
perusahaan.    Dengan   demikian maka dirasakan perlunya bantuan manajer-manajer
yang profesional sesuai dengan bidang yang ada dalam organisasi misalnya bidang pemasaran, produksi, keuangan dan lain-lain.  Perlu adanya struktur organisasi yang memadai, yang akan menciptakan suasana kerja yang sehat karena setiap staf bisa mengetahui dengan jelas dan pasti apa wewenang dan tanggung jawabnya serta dengan siapa ia bertanggung jawab.  Selain itu, dengan bertambah besarnya perusahaan diperlukan  suatu pengawasan yang lebih baik agar perusahaan dapat dikelola secara efektif.  Salah satu sistem pengawasan yang baik adalah melalui sistem internal control.
Untuk menjaga agar sistem internal control ini benar-benar dapat dilaksanakan, maka sangat diperlukan adanya internal auditor atau bagian pemeriksaan intern.  Fungsi pemeriksaan ini merupakan upaya tindakan pencegahan, penemuan penyimpangan-penyimpangan melalui pembinaan dan pemantauan internal control secara berkesinambungan.  Bagian ini harus membuat suatu program yang sistematis dengan mengadakan observasi langsung, pemeriksaan dan penilaian atas pelaksanaan kebijakan pimpinan serta pengawasan sistem informasi akuntansi dan keuangan lainnya.
Agar fungsi pemeriksaan intern dapat berjalan dengan baik, maka seorang internal auditor haruslah orang yang benar-benar memahami prosedur audit yang telah ditetapkan oleh perusahaan dan juga bagian ini harus memiliki kebebasan atau independensi yang cukup terhadap bagian yang diperiksa.
Dalam suatu perusahaan, internal auditor menilai apakah sistem pengawasan intern yang telah ditetapkan manajemen berjalan dengan baik dan efisien, apakah laporan keuangan menunjukkan posisi keuangan dan hasil usaha yang akurat serta setiap bagian benar-benar melaksanakan kebijakan sesuai dengan rencana dan  prosedur yang telah ditetapkan.  Pemeriksaan intern memberikan informasi yang tepat dan objektif untuk membantu manajemen dalam  mengambil keputusan sehingga dapat meningkatkan kemampuan manajemen dan mengurangi kemungkinan yang  dapat merugikan perusahaan.
Melihat banyaknya sumbangan yang dapat diberikan oleh internal auditor kepada manajemen, maka penulis mencoba untuk melihat pentingnya peranan internal auditor untuk membantu manajemen dalam menjalankan kegiatan perusahaan.  Maka penulis melakukan peninjauan dan penelitian pada PT. Citra Bangun dengan judul ”Kedudukan dan Fungsi Internal Auditor Pada PT. Citra Bangun, Medan.”

B.     Perumusan Masalah

Untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan setiap perusahaan pada umumnya selalu menghadapi berbagai masalah.  Adapun masalah yang  dihadapi setiap perusahaan berbeda-beda tergantung pada ruang lingkup kegiatan perusahaan.
Berdasarkan penelitian pendahuluan yang telah dilakukan pada PT. Citra Bangun, maka penulis mencoba merumuskan beberapa permasalahan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1.     Apakah fungsi internal auditor pada PT. Citra Bangun dapat berperan bagi tercapainya pemeriksaan intern yang baik?
2.     Apakah kedudukan internal auditor pada perusahaan benar-benar independen sehingga dapat mencapai tujuan pemeriksaan yang objektif?
C.    Tujuan  Penelitian
Adapun tujuan dan kegunaan penulisan skripsi ini adalah:
1.      Untuk mendapatkan gambaran nyata tentang fungsi dan kedudukan internal auditor dalam perusahaan kemudian membandingkan dengan teori-teori yang selama ini penulis terima dari perkuliahan dan sumber lainnya.
2.      Dari perbandingan ini diajukan saran yang mungkin bagi pihak yang berkepentingan.
3.      Untuk memenuhi tugas dan melengkapi persyaratan penyelesaian kuliah guna memperoleh gelar sarjana ekoomi pada Fakultas Ekonomi STIE Harapan Medan.

D.  Hipotesis
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka penulis dapat mengemukakan beberapa hipotesis:
1.     Fungsi dan kedudukan internal auditor dalam perusahaan telah berfungsi cukup  baik, hal ini  terjadi karena adanya dukungan dari pihak top manajer.
2.     Internal auditor dalam melaksanakan program pemeriksaan telah membuat rencana pemeriksaan yang cukup bagus.
3.     Kedudukan internal auditor cukup independen dalam perusahaan karena berada dibawah kedudukan  komisaris dan direktur utama.

E.   Metode Penelitian
1.      Desain Penelitian
Penelitian yang dilakukan adalah berupa penelitian kepustakaan dan penelitian ke lapangan.  Penelitian kepustakaan ditempuh dengan cara membaca literatur-literatur yang berhubungan dengan internal auditor.  Penelitian ke lapangan dilakukan dengan cara meninjau peranan dan fungsi internal auditor dalam perusahaan, yaitu PT. Citra Bangun.
2.      Jenis Data
Jenis data yang penulis kumpulkan berupa data primer dan data sekunder.  Data primer diambil langsung dari objek penelitian (PT. Citra Bangun) antara lain:
a.      Sejarah singkat perusahaan
b.     Struktur atau bagan organisasi perusahaan
c.      Data yang berhubungan dengan audit intern
Sedangkan data sekunder diperoleh penulis dari buku-buku, catatan-catatan kuliah dan literatur-literatur yang berhubungan dengan audit intern.
3.      Teknik Pengumpulan Data
Data dilakukan dengan:
a.         Observasi, yaitu melakukan serangkaian pengamatan langsung terhadap internal auditor pada PT. Citra Bangun
b.        Wawancara, yaitu dengan melakukan tanya jawab langsung dengan pihak atau bagian-bagian yang berwenang dalam perusahaan tersebut.
c.         Kepustakaan, yaitu mengumpulkan sejumlah informasi mengenai teori-teori audit intern dan teori lain yang mendukung.
4.      Metode Penganalisaan Data
a.         Metode deskriptif, yaitu dengan terlebih dahulu mengumpulkan data dari hasil penelitian untuk diklasifikasikan, dianalisis dan diinterpretasikan sehingga dapat memberikan gambaran yang jelas tentang keadaan yang ditulis.
b.         Metode komparatif, yaitu suatu metode analisis yang dilakukan dengan membandingkan teori-teori dengan praktek di dalam perusahaan, kemudian mengambil kesimpulan-kesimpulan dan selanjutnya memberikan saran-saran dari hasil perbandingan tersebut.

Baca selengkapnya »



BAB I
PENDAHULUAN

1.1       Latar Belakang Masalah
Saat ini masih banyak perusahaan yang mengukur kinerjanya hanya berdasarkan pada tolak ukur keuangannya saja.  Padahal dalam menghadapi lingkungan bisnis yang semakin kompleks seperti saat ini, pengukuran kinerja yang hanya berdasar pada tolak ukur keuangan sudah tidak lagi memadai karena mempunyai banyak kelemahan, antara lain:
1.   Pemakaian kinerja keuangan sebagai satu-satunya penentu kinerja perusahaan bisa mendorong manajer untuk mengambil tindakan jangka pendek dengan mengorbankan kepentingan jangka panjang.  Misalnya, untuk menaikkan profit atau ROI, seorang manajer bisa saja mengurangi komitmennya terhadap pengembangan atau pelatihan bagi karyawan, termasuk investasi-investasi dalam sistem dan teknologi untuk kepentingan perusahaan masa depan.  Dalam jangka pendek kinerja keuangan meningkat, namun dalam jangka panjang akan menurun.
2.   Diabaikannya aspek pengukuran non-finansial dan intangible asset pada umumnya, baik dari sumber internal maupun eksternal akan memberikan suatu pandangan yang keliru bagi manajer mengenai perusahaan di  masa sekarang terlebih lagi di masa datang.
3.   Kinerja keuangan hanya bertumpu pada kinerja masa lalu dan kurang mampu sepenuhnya untuk menuntun perusahaan kearah tujuan perusahaan.
Agar sukses setiap perusahaan, harus menginvestasikan dan mengelola asset intelektual mereka.  Hal ini disebabkan karena asset intelektual memampukan perusahaan untuk:
-          Membangun hubungan baik dengan konsumen yang akan memelihara kesetiaan dari konsumen yang ada dan memungkinkan segmen konsumen dan area pasar yang baru dapat dilayani dengan efektif dan efisien.
-          Memperkenalkan produk dan jasa inovatif yang diinginkan oleh target segmen konsumen.
-          Memproduksi produk dan jasa yang berkualitas tinggi pada tingkat biaya yang rendah dan dengan waktu tunggu yang singkat.
-          Mengerahkan kemampuan dan motivasi karyawan untuk melakukan peningkatan secara terus menerus dalam kapabilitas proses, kualitas, dan waktu respon.
Dalam hal ini, kesuksesan perusahaan tidak dapat dimotivasi atau diukur dalam jangka pendek dengan model akuntansi keuangan tradisional saja.  Balanced scorecard merupakan kerangka kerja baru untuk mengintegrasikan ukuran yang diperoleh dari strategi.  Dengan tetap mempertahankan ukuran keuangan dari performance sebelumnya, balanced scorecard memperkenalkan driver tambahan yang meliputi konsumen, proses bisnis internal, dan perspektif pembelajaran dan pertumbuhan.
Balanced scorecard lebih dari sekedar sistem pengukuran.  Perusahaan dapat menggunakan balanced scorecard sebagai dasar untuk mengatur kerangka kerja untuk proses manajemen mereka.  Perusahaan dapat membangun balanced scorecard mula-mula dengan tujuan yang terbatas, misalnya untuk mendapatkan klarifikasi, konsensus, dan fokus terhadap strategi mereka, lalu mengkomunikasikan strategi tersebut kepada seluruh anggota perusahaan.
Dengan kata lain, balanced scorecard mendidik manajemen dan organisasi pada umumnya untuk memandang perusahaan dari kurang lebih empat perspektif: keuangan, pelanggan, pembelajaran dan pertumbuhan, serta bisnis internal, yang menghubungkan pengendalian operasional jangka pendek ke dalam visi dan strategi bisnis jangka panjang.
Kekuatan sebenarnya balanced scorecard terjadi saat mentransform sistem pengukuran menjadi sistem manajemen.  Dengan kata lain balanced scorecard dapat digunakan untuk:
1.    Mengklasifikasi dan mendapatkan konsensus (persetujuan) mengenai strategi.
2.   Mengkomunikasikan strategi pada anggota perusahaan.
3.   Menjelaskan tujuan tiap departemen dan individu terhadap strategi.
4.   Menghubungkan tujuan strategis dengan target jangka panjang dan anggaran tahunan.
5.   Mengidentifikasi dan menjelaskan inisiatif strategis.
6.   Melakukan peninjauan strategis secara berkala dan sistematis.
7.   Memperoleh umpan balik untuk mempelajari dan mengembangkan strategi.
Seperti yang telah disebutkan diatas, balanced scorecard mengklasifikasikan pengukuran kinerja ke dalam 4 perspektif, yaitu keuangan, pelanggan, proses bisnis internal, dan pembelajaran dan pertumbuhan.  Keempat perspektif ini menawarkan suatu keseimbangan antara tujuan jangka pendek dan tujuan jangka panjang, yaitu hasil yang diinginkan, pemicu kinerja, dan tolak ukur kinerja.
Berdasarkan kelebihan yang dimiliki balanced scorecard, maka penulis tertarik untuk mengukur kinerja suatu perusahaan dengan menggunakan instrumen-instrumen yang terdapat di dalam balanced scorecard ke dalam skripsi  yang berjudul “Implementasi Balanced Scorecard sebagai alat pengukur kinerja pada PT Bestindo Intiselaras”.

1.2       Rumusan Masalah
Saat ini masih banyak perusahaan yang mengukur kinerjanya secara tradisional, yaitu hanya dengan menitikberatkan pada aspek keuangannya saja.  Perusahaan cenderung berorientasi pada keuntungan jangka pendek dan  mengabaikan kelangsungan hidup perusahaan dalam jangka panjang.
Oleh karena itu penulis mencoba menerapkan beberapa pengukuran sederhana dengan menggunakan pendekatan balanced scorecard untuk menganalisis kinerja perusahaan.  Adapun permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana pengukuran kinerja yang selama ini diterapkan di PT Bestindo Intiselaras?
2.   Bagaimana kinerja perusahaan jika diukur dengan sistem pengukuran Balanced Scorecard?

1.3       Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui kinerja PT Bestindo Intiselaras apabila diukur dengan perspektif Balanced Scorecard.

1.4       Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1.   Bagi perusahaan, untuk mendapatkan masukan tentang pengukuran kinerja dengan menggunakan Balance Scorecard serta memberikan manfaat dalam menetapkan pengukuran kinerja yang lebih komprehensif.
2.  Bagi penulis, untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis dalam menerapkan beberapa teori yang diperoleh dalam perkuliahan.
3.   Bagi pihak lain yang berkepentingan, untuk memberikan informasi yang berkenaan dengan pengukuran kinerja perusahaan dengan menggunakan Balanced Scorecard.
I.5        Sistematika Penulisan
Skripsi ini dibagi menjadi 5 bab dengan sistematika sebagai berikut:
Bab I.     Pendahuluan
Bab ini menjelaskan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitan, dan manfaat penelitian.  Penulis mencoba untuk memberikan gambaran mengenai kebutuhan pengukuran kinerja perusahaan dengan menggunakan perspektif-perspektif yang ada dalam Balance Scorecard.
Bab II.    Tinjauan Literatur
Dalam bab ini penulis menjelaskan mengenai pengertian, tujuan, manfaat, dan karakteristik sistem pengukuran kinerja, serta mengenai balanced scorecard dan perspektif-perspektif yang ada didalamnya sebagai suatu sistem pengukuran kinerja. 
Bab III.   Gambaran Umum Objek Pembahasan
Pada bab ini penulis menjelaskan gambaran umum, struktur organisasi, dan  ruang lingkup kegiatan PT Bestindo Intiselaras sebagai obyek penelitian.
Bab IV.  Analisis dan Pembahasan
Pada bab ini, penulis mencoba untuk  melakukan analisis data, baik data finansial maupun data nonfinansial, serta pembahasan terhadap kinerja perusahaan dengan menggunakan keempat perspektif dalam Balanced Scorecard, yaitu perspektif keuangan, pelanggan, proses bisnis internal, serta pertumbuhan dan pembelajaran.
Bab V.   Simpulan dan Saran
Bab ini berisi kesimpulan atas analisis data yang dilakukan di PT Bestindo Intiselaras, selain itu penulis juga memberikan saran mengenai kemungkinan pengukuran kinerja Balanced Scorecard sebagai alternatif untuk mengukur kinerja perusahaan secara lebih akurat.


BAB II
TINJAUAN LITERATUR

2.1       Sistem Pengukuran Kinerja
2.1.1   Pengertian Pengukuran Kinerja
Anderson dan Clancy (1991) mendefinisikan pengukuran kinerja sebagai:  “feedback from the accountant to management that provides information about how well the action represent the plans; it also identifies where managers may need to make corrections or adjustments in future planning and controlling activities.”
            Sementara itu, Anthony, Banker, Kaplan, dan Young (1997) mendefinisikan pengukuran kinerja sebagai:  “the activity of measuring the performance of an activity or the entire value chain.”
            Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pengukuran kinerja adalah tindakan pengukuran yang dilakukan terhadap berbagai aktivitas dalam rantai nilai yang ada pada perusahaan.  Hasil pengukuran tersebut kemudian digunakan sebagai umpan balik yang akan memberikan informasi tentang prestasi pelaksanaan suatu rencana dan titik di mana perusahaan memerlukan penyesuaian-penyesuaian atas aktivitas perencanaan dan pengendalian.



2.1.2   Tujuan Pengukuran Kinerja
Pengukuran kinerja mempunyai tujuan pokok yaitu untuk memotivasi karyawan dalam mencapai sasaran organisasi dan dalam mematuhi standar perilaku yang telah ditetapkan sebelumnya, agar membuahkan tindakan dan hasil yang diinginkan.
            Adapun tujuan umum pengukuran kinerja adalah:
1. untuk menentukan kontribusi suatu bagian dari perusahaan terhadap organisasi secara keseluruhan.
2.   memberikan dasar untuk mengevaluasi kinerja masing-masing manajer.
3. memotivasi para manajer untuk mengoperasikan divisinya secara konsisten sehingga sesuai dengan tujuan pokok perusahaan.
            Untuk itu sistem pengukuran kinerja harus memenuhi tuntutan sebagai berikut:
1.   Sistem tersebut harus mencerminkan pemahaman organisasi yaitu sistem pengukuran kinerja harus memonitor kinerja organisasi dan menggiring kinerja dalam tujuan utama organisasi.
2.   sistem pengukuran kinerja harus mengukur aspek kritis yang penting atau perbedaan-perbedaan dari kinerja organisasi untuk mencapai tujuan utama.

2.1.3   Manfaat Pengukuran Kinerja
Menurut Lynch dan Cross (1993), manfaat sistem pengukuran kinerja yang baik adalah sebagai berikut:
a)    Menelusuri kinerja terhadap harapan pelanggan sehingga akan membawa perusahaan lebih dekat pada pelanggannya dan membuat seluruh orang dalam organisasi terlibat dalam upaya memberi kepuasan kepada pelanggan;
b)    Memotivasi pegawai untuk melakukan pelayanan sebagai bagian dari mata-rantai pelanggan dan pemasok internal;
c)    Mengidentifikasi berbagai pemborosan sekaligus mendorong upaya-upaya pengurangan terhadap pemborosan tersebut (deduction of waste);
d)    Membuat suatu tujuan strategis yang biasanya masih kabur menjadi lebih konkret sehingga mempercepat proses pembelajaran organisasi;
e)    Membangun konsensus untuk melakukan suatu perubahan dengan memberi “reward” atas perilaku yang diharapkan tersebut.

2.1.4   Karakteristik Sistem Pengukuran Kinerja
Dengan munculnya bebagai paradigma baru di mana bisnis harus digerakkan oleh customer-focused, suatu sistem pengukuran kinerja yang efektif, paling tidak harus memiliki syarat-syarat sebagai berikut:
a.    Didasarkan pada masing-masing aktivitas dan karakteristik organisasi itu sendiri sesuai perspektif pelanggan;
b.    Evaluasi atas berbagai aktivitas, mengggunakan ukuran-ukuran kinerja yang customer-validated;
c.    Sesuai dengan seluruh aspek kinerja aktivitas yang mempengaruhi pelanggan, sehingga menghasilkan penilaian yang komprehensif;
d.    Memberikan umpan balik untuk membantu seluruh anggota organisasi mengenali masalah-masalah yang mempunyai kemungkinan untuk diperbaiki.

2.2       Balanced Scorecard
Menurut Kaplan dan Norton (1996), Balanced Scorecard merupakan:
“… a set of measures that gives top managers a fast but comprehensive view of the business … includes financial measures that tell the results of actions already taken … complements the financial measures with operational measures on customers satisfaction, internal processes, and the organization’s innovation and improvement activities – operational measures that are the drivers of future financial performance.”
            Sementara, Anthony, Banker, Kaplan, dan Young (1997) mendefinisikan Balanced Scorecard sebagai: “a measurement and management system that views a business unit’s performance from four perspectives: financial, customer, internal business process, and learning and growth.”
            Dengan demikian, Balanced Scorecard merupakan suatu sistem manajemen, pengukuran, dan pengendalian yang secara cepat, tepat, dan komprehensif dapat memberikan pemahaman kepada manajer tentang performance bisnis.  Pengukuran kinerja dengan Balanced Scorecard memandang unit bisnis dari empat perspektif, yaitu perspektif keuangan, pelanggan, proses bisnis dalam perusahaan, serta proses pembelajaran dan pertumbuhan.  Melalui mekanisme sebab akibat (cause and effect), perspektif keuangan menjadi tolak ukur utama yang dijelaskan oleh tolak ukur operasional pada tiga perspektif lainnya sebagai driver (lead indicator).
            Selain itu, Balanced Scorecard juga memberikan kerangka berpikir untuk menjabarkan strategi perusahaan ke dalam segi operasional.  Sebelum Balanced Scorecard diimplemantasikan, pada saat penyusunan (building) Balanced Scorecard, terlebih dulu dijabarkan dengan jelas visi, misi, dan strategi perusahaan dari top-management perusahaan, karena hal ini menentukan proses berikutnya berupa transaksi strategis kegiatan operasional.
            Dengan Balanced Scorecard, tujuan suatu unit usaha tidak hanya dinyatakan dalam suatu ukuran keuangan saja, melainkan dijabarkan lebih lanjut ke dalam pengukuran bagaimana unit usaha tersebut menciptakan nilai terhadap pelanggan yang ada sekarang dan masa datang, dan bagaimana unit usaha tersebut harus meningkatkan kemampuan internalnya termasuk investasi pada manusia, sistem, dan prosedur yang dibutuhkan untuk memperoleh kinerja yang lebih baik di masa mendatang.
Melalui Balanced Scorecard diharapkan bahwa pengukuran kinerja financial dan non financial dapat menjadi bagian dari sistem informasi bagi seluruh pegawai dan tingkatan dalam organisasi.



2.2.1   Keunggulan Balanced Scorecard
Balanced Scorecard memiliki keunggulan yang menjadikan sistem manajemen strategik saat ini berbeda secara signifikan dengan sistem manajemen strategik dalam manajemen tradisional. 
            Manajemen strategik tradisional hanya berfokus ke sasaran-sasaran yang bersifat keuangan, sedangkan sistem manajemen strategik kontemporer mencakup perspektif yang luas yaitu keuangan, customer, proses bisnis/intern, dan pembelajaran dan pertumbuhan. 
            Selain itu berbagai sasaran strategik yang dirumuskan dalam sistem manajemen strategik tradisional tidak koheren satu dengan lainnya, sedangkan berbagai sasaran strategik dalam sistem manajemen strategic kontemporer dirumuskan secara koheren.  Di samping itu, Balanced Scorecard menjadikan sistem manajemen strategik kontemporer memiliki karakteristik yang tidak dimiliki oleh sistem manajemen strategik tradisional, yaitu dalam karakteristik keterukuran dan keseimbangan.
            Keunggulan pendekatan Balanced Scorecard dalam system perencanaan strategic adalah mampu menghasilkan rencana strategic yang memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) komprehensif, (2) koheren, (3) seimbang, (4) terukur.

Komprehensif
Balanced Scorecard memperluas perspektif yang dicakup dalam perencanaan strategic, dari yang sebelumnya hanya terbatas pada perspektif keuangan, meluas ke tiga perspektif yang lain: customers, proses bisnis/intern, serta pembelajaran dan pertumbuhan.  Perluasan perspektif rencana strategic ke perspektif nonkeuangan tersebut menghasilkan manfaat berikut:
a.   Menjanjikan kinerja keuangan yang berlipatganda dan berjangka panjang,
b.   Memampukan perusahaan untuk memasuki lingkungan bisnis yang kompleks.
            Balanced Scorecard memotivasi personel untuk mengarahkan usahanya ke sasaran-sasaran strategik yang menjadi penyebab utama dihasilkannya kinerja keuangan.  Untuk menghasilkan kinerja keuangan, personel harus mewujudkan sasaran dari perspektif customer.  Perusahaan harus mampu menghasilkan produk dan jasa yang menghasilkan value terbaik bagi customers.  Produk dan jasa yang menghasilkan value bagi customers harus dihasilkan dari proses yang produktif dan cost effective.  Proses yang produktif dan cost effective harus dijalankan oleh personel yang produktif dan berkomitmen.  Kinerja keuangan yang dihasilkan dari perspektif customers, proses, serta pembelajaran dan pertumbuhan tersebut merupakan kinerja keuangan yang sesungguhnya, yang berasal dari usaha nyata dalam bisnis, sehingga kinerja keuangan yang demikian akan berlipatganda dan berjangka panjang.  Oleh karena kinerja keuangan dapat dijelaskan dengan nyata penyebabnya, personel dapat mengulangi sukses yang diperolehnya di lain kesempatan.
            Kekomprehensivan sasaran strategik merupakan respon yang pas untuk memasuki lingkungan bisnis yang kompleks.  Dengan mengarahkan sasaran-sasaran strategik ke empat perspektif, rencana strategik perusahaan mencakup lingkup yang luas, yang memadai untuk menghadapi lingkungan bisnis yang kompleks.

Koheren
Balanced Scorecard mewajibkan personel untuk membangun hubungan sebab akibat (causal relationship) di antara berbagai sasaran strategik yang dihasilkan  dalam perencanaan strategik.  Setiap sasaran strategik yang ditetapkan dalam perspektif nonkeuangan harus mempunyai hubungan kausal dengan sasaran keuangan, baik secara langsung maupun tidak langsung. 
            Dengan demikian, kekoherenan sasaran strategik yang dihasilkan dalam sistem perencanaan strategik memotivasi personel untuk bertanggung jawab dalam mencari inisiatif strategik yang bermanfaat untuk menghasilkan kinerja keuangan.  Sistem perencanaan strategic yang menghasilkan sasaran strategik yang koheren akan menjanjikan pelipatgandaan kinerja keuangan berjangka panjang, karena personel dimotivasi untuk mencari inisiatif strategik yang mempunyai manfaat bagi perwujudan sasaran strategik di perspektif customers, proses bisnis/intern, pembelajaran dan pertumbuhan, atau keuangan.  Kekoherenan sasaran strategic yang menjanjikan pelipatgandaan kinerja keuangan sangat dibutuhkan oleh perusahaan untuk memasuki lingkungan bisnis yang kompetitif.
            Kekoherenan juga berarti dibangunnya hubungan sebab akibat antara keluaran yang dihasilkan sistem perumusan strategi dengan keluaran yang dihasilkan sistem perencanaan strategik.  Sasaran strategik yang dirumuskan dalam sistem perencanaan strategik merupakan penerjemahan visi, tujuan, dan strategi yang dihasilkan sistem perumusan strategi.
            Kekoherenan juga dituntut pada waktu menjabarkan inisiatif strategik ke dalam program, dan penjabaran program ke dalam rencana laba jangka pendek (budget).  Kekoherenan di antara keluaran yang dihasilkan oleh setiap tahap perencanaan dalam sistem manajemen strategik (perumusan strategi, perencanaan strategik, penyusunan program, dan penyusunan anggaran) menjanjikan kecepatan respon perusahaan terhadap setiap perubahan yang terjadi di lingkungan bisnis yang dimasuki oleh perusahaan.  Kecepatan respon ini sangat diperlukan oleh perusahaan untuk memasuki lingkungan bisnis yang turbulen.

Seimbang
Keseimbangan sasaran strategik yang dihasilkan oleh sistem perencanaan strategik penting untuk menghasilkan kinerja keuangan berjangka panjang.
Berikut adalah gambar yang memperlihatkan garis keseimbangan yang perlu diusahakan dalam menetapkan sasaran-sasaran strategic di keempat perspektif.







            Dalam gambar tersebut terlihat empat sasaran strategik yang perlu diwujudkan oleh perusahaan: (1) financial returns yang berlipatganda dan berjangka panjang (perspektif keuangan), (2) produk dan jasa yang mampu menghasilkan value terbaik bagi customer (perspektif customer), (3) proses yang produktif dan cost effective (perspektif proses bisnis/intern), dan (4) sumber daya manusia yang produktif dan berkomitmen (perspektif pembelajaran dan pertumbuhan).
            Empat sasaran strategik itu dipisahkan oleh dua garis keseimbangan yaitu garis vertical dan garis horizontal.  Garis vertical digunakan untuk mengukur keseimbangan antara pemusatan ke dalam (internal focus) dan pemusatan ke luar (external focus).  Sedangkan garis horizontal digunakan untuk mengukur keseimbangan antara pemusatan ke proses (process centric) dan pemusatan ke orang (people centric).

Terukur
Keterukuran sasaran strategik yang dihasilkan oleh sistem perencanaan strategik menjanjikan ketercapaian berbagai sasaran strategik yang dihasilkan oleh sistem tersebut.  Semua sasaran strategik ditentukan oleh ukurannya, baik untuk sasaran strategik di perspektif keuangan maupun sasaran strategik di perspektif nonkeuangan.
Berikut adalah ukuran kinerja dalam ke empat perspektif:


Perspektif
Ukuran kinerja
Keuangan
Return On Investment (ROI)
Revenue Mix
Asset Turnover
Berkurangnya biaya secara signifikan
Customer
Jumlah customer baru
Jumlah customer yang hilang
Kecepatan waktu layanan customer
Proses bisnis/intern
Cycle time
On time delivery
Cycle effectiveness
Pembelajaran dan pertumbuhan
Skill coverage
Quality work life index
Gambar 2.2 Ukuran Kinerja dalam 4 Perspektif Balanced Scorecard
            Dengan Balanced Scorecard, sasaran-sasaran strategik yang sulit diukur, seperti sasaran-sasaran strategik di perspektif nonkeuangan, ditentukan ukurannya agar dapat dikelola, sehingga dapat diwujudkan.  Dengan demikian keterukuran sasaran-sasaran strategik di perspektif nonkeuangan tersebut menjanjikan perwujudan berbagai sasaran strategik nonkeuangan, sehingga kinerja keuangan dapat berlipat ganda dan berjangka panjang.

2.2.2   Hubungan Balanced Scorecard dengan Visi, Misi, dan Strategi Perusahaan
Sistem pengukuran kinerja harus dapat memotivasi para manajer dan karyawan untuk mengimplementasikan strategi unit bisnisnya.  Perusahaan yang dapat menerjemahkan strateginya ke dalam sistem pengukuran akan memiliki kemampuan yang lebih baik dalam menjalankan strategi tersebut, sebab mereka telah mengkomunikasikan tujuan dan targetnya kepada para pegawai.  Komunikasi ini akan memfokuskan mereka pada pemicu-pemicu kritis, memungkinkan mereka untuk mengarahkan investasi, inisiatif, dan tindakan-tindakan dengan menyempurnakan tujuan-tujuan strategis. 
            Kaplan dan Norton menyatakan pentingnya penciptaan suatu scorecard yang mengkomunikasikan suatu strategi unit bisnis sebagai berikut:
a.   the scorecard describes the organization’s vision of the future to the entire organization.  It creates shared understanding.
b.   the scorecard creates a holistic model of strategy that allows all employees to see how they contribute to organizational success.  Without such linkage, individuals and departments can optimize their local performance but not contribute to achieving strategic objectives.
c.   the scorecard focuses change efforts.  If the right objectives and measures are identified, successful implementation will likely occur.  If not, investments and initiatives will be wasted.
            Selanjutnya Kaplan dan Norton juga mengemukakan tiga prinsip yang memungkinkan Balanced Scorecard organisasi terhubung dengan strategi, yaitu: cause-and-effect relationships, performance drivers dan linkage to financial.
a.   Cause-and-effect relationships
      Prinsip ini sangat penting bagi Balanced Scorecard karena prinsip inilah yang membedakan Balanced Scorecard dengan konsep-konsep yang lain.  Dengan prinsip ini, Balanced Scorecard mampu menjabarkan tujuan dan pengukuran masing-masing perspektif dengan baik dalam satu kesatuan yang padu.  Menurut Kaplan dan Norton, sebuah strategi adalah seperangkat hipotesis dalam model hubungan cause and effect, yaitu suatu hubungan yang dapat diekspresikan melalui kaitan antara pernyataan if-then.  Pengembangan Balanced Scorecard yang baik harus dapat menjelaskan rangkaian cerita dari seluruh Strategic Business Unit (SBU) dalam hubungan cause dan effect.  Melalui model hubungan cause and effect ini pula, suatu strategi dapat dianimasikan dan dikritisi bersama, baik sebelum, selama, dan sesudah dieksekusi.  Pengujian terhadap sekumpulan scorecard dapat dilakukan dengan mudah karena tiap relasi dan hubungan kausalitas dapat diuji secara rinci.
b.   Performance Drivers
      Sebuah Balanced Scorecard yang baik harus memiliki bauran hasil (lagging indicators) yang memadai dan pemicu kinerja (leading indicators) yang digunakan oleh SBU.
            Outcomes (lagging indicators) mencerminkan tujuan umum dari berbagai strategi yang dimiliki oleh kebanyakan perusahaan, seperti profitability, market share, customer satisfaction, customer retention, dan employee skills.  Sedangkan performance drivers (leading indicators) mencerminkan keunikan strategi unit bisnis.  Identifikasi performance drivers membantu mengatasi kelemahan dari outcome measures.  Pemahaman mengenai pertumbuhan segmen pasar (outcome measures) akan lebih bermanfaat jika diketahui faktor-faktor yang menyebabkan pergerakannya.
c.   Linkage to Financials
      Adanya kritik terhadap pengukuran kinerja berbasis laporan keuangan tidak lantas menghasilkan rekomendasi untuk membuang tolak ukur keuangan.  Keberhasilan perusahaan dalam pencapaian berbagai tujuan seperti kualitas, kepuasan pelanggan, inovasi dan pemberdayaan karyawan tidak akan memberikan perbaikan terhadap perusahaan apabila hal tersebut hanya dianggap sebagai tujuan akhir.  Semua pengukuran yang berkaitan dengan pencapaian tujuan perusahaan harus dikaitkan dengan tujuan keuangan sebagai tujuan akhir.  Hal ini seperti dikatakan Kaplan dan Norton: “Ultimately, causal paths from all the measures on a scorecard should be linked to financial objectives.”  Dengan demikian, tolak ukur keuangan dapat digunakan untuk menguji hasil dari performance driver, dalam hal, sejauh mana efektivitasnya dalam memberikan hasil.
            Sebagai ilustrasi sederhana adalah dalam suatu pertandingan sepakbola, kedua tim yang bertanding bebas mengembangkan strategi dan taktik permainan yang terbaik.  Namun, pemenang pertandingan bukanlah mereka yang telah mengembangkan permainan dengan cantik.  Apapun strategi yang digunakan, pemenang pertandingan adalah mereka yang lebih banyak mencetak gol.  Mencetak gol seumpama outcome measures.  Sedangkan strategi permainan itulah yang dikenal dalam Balanced Scorecard sebagai Performance Driver.

2.3       Perspektif Balanced Scorecard
2.3.1   Perspektif Keuangan
Secara tradisional, laporan keuangan merupakan indicator historis-agregatif yang merefleksikan akibat dari implementasi dan eksekusi strategi dalam satu periode.
            Pengukuran kinerja keuangan akan menunjukkan apakah perencanaan dan pelaksanaan strategi memberikan perbaikan yang mendasar bagi keuntungan perusahaan.  Perbaikan-perbaikan ini tercermin dalam sasaran-sasaran yang secara khusus berhubungan dengan keuntungan yang terukur, pertumbuhan usaha, dan nilai pemegang saham.
            Pengukuran kinerja keuangan mempertimbangkan adanya tahapan dari siklus kehidupan bisnis, yaitu: growth, sustain, dan harvest.  Tiap tahapan memiliki sasaran yang berbeda, sehingga penekanan pengukurannya pun berbeda pula.
            Growth adalah tahapan awal siklus kehidupan perusahaan dimana perusahaan memiliki produk atau jasa yang secara signifikan memiliki potensi pertumbuhan terbaik.  Di sini, manajemen terikat dengan komitmen untuk mengembangkan suatu produk atau jasa baru, membangun dan mengembangkan suatu produk/jasa dan fasilitas produksi, menambah kemampuan operasi, mengembangkan system, infrastruktur, dan jaringan distribusi yang akan mendukung hubungan global, serta membina dan mengembangkan hubungan dengan pelanggan.
            Dalam tahap pertumbuhan, perusahaan biasanya beroperasi dengan arus kas yang negatif dengan tingkat pengembalian modal yang rendah.  Dengan demikian, tolak ukur kinerja yang cocok dalam tahap ini adalah, misalnya, tingkat pertumbuhan pendapatan atau penjualan dalam segmen pasar yang telah ditargetkan.
            Sustain adalah tahapan kedua di mana perusahaan masih melakukan investasi dan reinvestasi dengan mengisyaratkan tingkat pengembalian terbaik.  Dalam tahap ini, perusahaan mencoba mempertahankan pangsa pasar yang ada, bahkan mengembangkannya, jika mungkin.  Investasi yang dilakukan umumnya diarahkan untuk menghilangkan bottleneck, mengembangkan kapasitas, dan meningkatkan perbaikan operasional secara konsisten.  Sasaran keuangan pada tahap ini diarahkan pada besarnya tingkat pengembalian atas investasi yang dilakukan.  Tolak ukur yang kerap digunakan pada tahap ini, misalnya ROI, ROCE, dan EVA.
            Harvest adalah tahapan ketiga di mana perusahaan benar-benar memanen/menuai hasil investasi di tahap-tahap sebelumnya.  Tidak ada lagi investasi besar, baik ekspansi maupun pembangunan kemampuan baru, kecuali pengeluaran untuk pemeliharaan dan perbaikan fasilitas.  Sasaran keuangan utama dalam tahap ini, sehingga diambil sebagai tolak ukur, adalah memaksimumkan arus kas masuk dan pengurangan modal kerja.

2.3.2   Perspektif Pelanggan
Filosofi manajemen terkini telah menunjukkan peningkatan pengakuan atas pentingnya customer focus dan customer satisfaction.  Perspektif ini merupakan leading indicator.  Jadi, jika pelanggan tidak puas mereka akan mencari produsen lain yang sesuai dengan kebutuhan mereka.  Kinerja yang buruk dari perspektif ini akan menurunkan jumlah pelanggan di masa depan meskipun saat ini kinerja keuangan terlihat baik.
            Perspektif pelanggan memiliki dua kelompok pengukuran, yaitu: customer core measurement dan customer value prepositions.


1)   Customer Core Measurement
      Customer core measurement memiliki beberapa komponen pengukuran, yaitu: market share, customer retention, customer acquisition, customer satisfaction, dan customer profitability.
      Market Share; Pengukuran ini mencerminkan bagian yang dikuasai perusahaan atas keseluruhan pasar yang ada, yang meliputi antara lain: jumlah pelanggan, jumlah penjualan, dan volume unit penjualan.
      Customer Retention; Mengukur tingkat di mana perusahaan dapat mempertahankan hubungan dengan konsumen.
      Customer Acquisition; mengukur tingkat di mana suatu unit bisnis mampu menarik pelanggan baru atau memenangkan bisnis baru.
      Customer Satisfaction; Menaksir tingkat kepuasan pelanggan terkait dengan kriteria kinerja spesifik dalam value proposition.
      Customer Profitability; Mengukur laba bersih dari seorang pelanggan atau segmen setelah dikurangi biaya yang khusus diperlukan untuk mendukung pelanggan tersebut.
2)   Customer Value Proposition
      Customer value proposition merupakan pemicu kinerja yang terdapat pada core value proposition yang didasarkan pada atribut sebagai berikut: product/service attributes, customer relationship, dan image and relationship.
      a)   Product/service attributes
      Meliputi fungsi dari produk atau jasa, harga, dan kualitas.  Pelanggan memiliki preferensi yang berbeda-beda atas produk yang ditawarkan.  Ada yang mengutamakan fungsi dari produk, kualitas, atau harga yang murah.  Perusahaan harus mengidentifikasikan apa yang diinginkan pelanggan atas produk yang ditawarkan.  Selanjutnya pengukuran kinerja ditetapkan berdasarkan hal tersebut.
b)   Customer relationship
      Menyangkut perasaan pelanggan terhadap proses pembelian produk yang ditawarkan perusahaan.  Perasaan konsumen ini sangat dipengaruhi oleh responsivitas dan komitmen perusahaan terhadap pelanggan berkaitan dengan masalah waktu penyampaian.  Waktu merupakan komponen yang penting dalam persaingan perusahaan.  Konsumen biasanya menganggap penyelesaian order yang cepat dan tepat waktu sebagai faktor yang penting bagi kepuasan mereka.
c)   Image and reputation
      Menggambarkan faktor-faktor intangible yang menarik seorang konsumen untuk berhubungan dengan perusahaan.  Membangun image dan reputasi dapat dilakukan melalui iklan dan menjaga kualitas seperti yang dijanjikan.

2.3.3   Perspektif Proses Bisnis Internal
Analisis proses bisnis internal perusahaan dilakukan dengan menggunakan analisis value-chain.  Disini, manajemen mengidentifikasi proses internal bisnis yang kritis yang harus diunggulkan perusahaan.  Scorecard dalam perspektif ini memungkinkan manajer untuk mengetahui seberapa baik bisnis mereka berjalan dan apakah produk dan atau jasa mereka sesuai dengan spesifikasi pelanggan.  Perspektif ini harus didesain dengan hati-hati oleh mereka yang paling mengetahui misi perusahaan yang mungkin tidak dapat dilakukan oleh konsultan luar.
            Perbedaan perspektif bisnis internal antara pendekatan tradisional dan pendekatan Balanced Scorecard adalah:
1.   Pendekatan tradisional berusaha untuk mengawasi dan memperbaiki proses bisnis yang sudah ada sekarang.  Sebaliknya, Balanced Scorecard melakukan pendekatan atau berusaha untuk mengenali semua proses yang diperlukan untuk menunjang keberhasilan strategi perusahaan, meskipun proses-proses tersebut belum dilaksanakan.
2.   Dalam pendekatan tradisional, system pengukuran kinerja hanya dipusatkan pada bagaimana cara menyampaikan barang atau jasa.  Sedangkan dalam pendekatan Balanced scorecard, proses inovasi dimasukkan dalam perspektif proses bisnis internal.
            Aktivitas penciptaan nilai perusahaan, terangkai dalam suatu rantai nilai yang dimulai dari proses perolehan bahan baku sampai penyampaian produk jadi ke konsumen.  Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Shank dan Govindarajan, yaitu: “The value chain for any firm in any business is linked set of value creating-activities----from basic raw material sources to the ultimate product or service that is delivered to customers.”  Aktivitas penciptaan nilai di atas diistilahkan sebagai proses bisnis internal.
            Kaplan dan Norton membagi proses bisnis internal ke dalam: inovasi, operasi, dan layanan purna jual.
1.   Proses inovasi
      Dalam proses ini, unit bisnis menggali pemahaman tentang kebutuhan laten dari pelanggan dan menciptakan produk dan jasa yang mereka butuhkan.  Proses inovasi dalam perusahaan biasanya dilakukan oleh bagian R&D sehingga setiap keputusan pengeluaran suatu produk ke pasar telah memenuhi syarat-syarat pemasaran dan dapat dikomersialkan (didasarkan pada kebutuhan pasar).  Aktivitas R&D ini merupakan aktivitas penting dalam menentukan kesuksesan perusahaan, terutama untuk jangka panjang.
2.   Proses Operasi
      Proses operasi adalah proses untuk membuat dan menyampaikan produk/jasa.  Aktivitas di dalam proses operasi terbagi ke dalam dua bagian: 1) proses pembuatan produk, dan 2) proses penyampaian produk kepada pelanggan.  Pengukuran kinerja yang terkait dalam proses operasi dikelompokkan pada: waktu, kualitas, dan biaya.
3.   Proses Pelayanan Purna Jual
            Proses ini merupakan jasa pelayanan pada pelanggan setelah penjualan produk/jasa tersebut dilakukan.  Aktivitas yang terjadi dalam tahapan ini, misalnya penanganan garansi dan perbaikan penanganan atas barang rusak dan yang dikembalikan serta pemrosesan pembayaran pelanggan.  Perusahaan dapat mengukur apakah upayanya dalam pelayanan purna jual ini telah memenuhi harapan pelanggan, dengan menggunakan tolak ukur yang bersifat kualitas, biaya, dan waktu seperti yang dilakukan dalam proses operasi.  Untuk siklus waktu, perusahaan dapat menggunakan pengukuran waktu dari saat keluhan pelanggan diterima hingga keluhan tersebut diselesaikan.

Baca selengkapnya »



Diberdayakan oleh Blogger.